Minggu, 19 November 2017

Analisis Data Melalui Hasil Tes

Bismillahhirrohmanirrohim...Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Analisis Data Melalui Hasil Tes

Analisis adalah suatu kegiatan untuk mencermati setiap langkah yang dibuat, mulai dari tahap persiapan, proses, sampai dengan hasil pekerjaan atau pembelajaran, dalam arti apakah kegiatan beserta langkah-langkahnya sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Demikian juga halnya dengan analisis PTK terhadap kegiatan pembelajaran, analisis dilakukan untuk memperkirakan apakah semua aspek pembelajaran yang terlibat didalamnya sudah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan pertimbangan bahwa pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes dan non-tes, maka uraian tentang analisis data pun dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu analisis data hasil tes dan analisis data hasil non-tes. Tetapi di dalam artikel ini saya akan membahas mengenai analisis data melalui hasil tes saja.

Dalam proses analisis ini ditempuh tahap pengolahan, penafsiran, dan pelaporan hasil analisis beserta tahap-tahap lainnya. Namun, dalam realitasnya seringkali tahap-tahap ini tidak tuntas dilakukan. Peneliti (guru) cenderung hanya mengumpulkan data, menskor, dan mengadministrasikannya. Tindak lanjut dari data yang diperoleh ini tidak dilakukan. Setelah data terkumpul, data tersebut harus diolah, ditafsirkan, dan baru kemudian dilaporkan. Jadi, pengolahan data penting dilakukan, karena data yang terkumpul melalui berbagai alat pengumpul data (instrumen) masih berupa data mentah.

Analisis data melalui hasil tes bisa diurutkan dari teknik penyekalaan, penormaan, pensetaraan, batas-batas atau kriteria kelulusan, penyajian data, analisis tendensi sentral dan kemudian analisis variabilitas. Untuk melengkapi proses pengolahan data tes hasil belajar, akan dibahas pula penggunaan hasil penilaian, seperti penentuan lulustidak lulus, penentuan kelas perbaikan-pengayaan, atau bahkan penentuan apakah program pengajaran tertentu perlu diteruskan, direvisi, atau dibatalkan.
1.   Teknik Penyekalaan
Jika kita mendengar kata skala, yang terbayangkan dalam benak kita ialah  adanya jarak antar suatu obyek (titik) yang sama atau lajur-lajur yang dipergunakan untuk menentukan tingkatan atau banyaknya sesuatu (misalnya, rentang skala gaji/upah) atau perbandingan ukuran besar (misalnya, dalam kasus skala pada peta).
Skala adalah rentang skor atau data yang dibuat penyelenggara tes (tester) sebagai ukuran ke posisi mana peserta tes (testee atau siswa) ditempatkan sesuai dengan hasil pekerjaannya. Misalnya, skala pada Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa. Penyekalaan ini bersifat relatif dan subyektif, karena ditentukan oleh tester dan dapat berubah sesuai dengan sifat obyek yang dinilai.
Dalam pengukuran kependidikan dan pembelajaran masalah skala ini sebenarnya masih menjadi perdebatan banyak pakar. Contohnya, apakah angka nol (0) bersifat mutlak? Jika kita memberikan skor 0 (nol) atas seseorang, apakah berarti orang (siswa) yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan atau ketrampilan sama sekali? Barangkali, kalau kita maksudkan bahwa 0 (nol) dalam pengertian skor mentah, pengertian 0 (nol) cukup jelas, karena dikenakan kepada sejumlah soal yang diujikan. Dalam kaitan ini, 0 (nol) berarti bahwa dari sejumlah soal yang diujikan (misalnya, 10 soal) tidak ada satu soal pun yang dapat dijawab secara benar (salah semua). Namun, jika skala tersebut diimplementasikan terhadap jarak skor (nilai) yang diberikan, maka ketidakjelasan akan kembali dihadapi. Pertanyaannya adalah, apakah jarak antara skor 5 (lima) dan 6 (enam) sama dengan 6 dan 7, apakah sama dengan 8 dan 9, atau 9 dan 10? Pertanyaan ini berlaku pula terhadap skala IPK mahasiswa yang ditetapkan, misalnya seperti berikut.
Tabel 9.1
Penetapan Skala Penilaian IPK (dalam bentuk Huruf)


Contoh lainnya dapat pula dilihat dari penetapan kriteria kelulusan suatu mata kuliah, seperti berikut.

Tabel 9.2
Penetapan Skala Penilaian Kelulusan Mata Kuliah

Jika kita mengamati skala dalam tabel 9.1 maupun tabel 9.2, maka secara jujur kita mengatakan bahwa angka atau skor tersebut tidak lebih dari sekedar “permainan judi” dari para pelakunya (pengajar dan peserta ajar) yang amat misteri, karena di lain tempat mungkin rentang skalanya tidak sama. Misalnya, untuk nilai huruf A dibedakan A dan A-, untuk B ada B+, B, dan B-, dan seterusnya.

Padahal skala yang ditentukan tersebut kemudian merupakan dasar untuk menentukan nasib seseorang. Skala yang dipergunakan amat bervariasi. Skala tersebut akan sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang paling kritis adalah antara angka yang mendekati keputusan, apakah seseorang layak mendapat E atau D, D atau C, C atau B, serta B atau A? Misalnya, seseorang mendapat skor 69,20; apakah akan diberikan nilai B ataukah tetap C? Seseorang yang mendapatkan skor 79 apakah akan tetap mendapat nilai B (sama dengan seseorang yang mendapat skor 70) ataukah akan mendapatkan nilai A? Disinilah tampak, betapa skala tersebut pada kasus-kasus tertentu sangat dekat tetapi kasus lainnya menjadi sangat jauh, karena relativitas faktor penafsiran.

Secara umum, dalam pengukuran terdapat empat macam klasifikasi skala atau data yang biasa digunakan analisis hasil tes. Pertama, skala atau data Nominal. Kedua, skala atau data Ordinal. Ketiga, skala atau data Interval. Keempat, skala atau data Rasio.

Skala atau data Nominal tidak memiliki karakteristik kuantitatif. Skala ini hanya merupakan lambang semata (numeral; bukan number). Misalnya, nomor kendaraan bermotor, nomor rumah, nomor telepon, nomor pemain, nomor urut siswa dalam daftar hadir, dll.

Skala atau data Ordinal sudah mempunyai pengertian tinggi rendah sesuatu (bersifat kontinum). Misalnya, pemberian rangking atau peringkat nilai rapor, predikat kejuaraan (juara pertama, kedua, ketiga, dst.), atau predikat siswa teladan (teladan I, II, III, dst.). Peringkat I maksudnya jelas lebih tinggi daripada peringkat II, peringkat II lebih tinggi daripada peringkat III, dan seterusnya. Namun dalam skala ordinal ini, jarak antara satu peringkat dengan peringkat lainnya tidak sama. Bisa jadi peringkat I memperoleh nilai rata-rata 9,00, peringkat II = 8,52, tetapi peringkat III = 7,11. Jadi, jarak satu dengan lainnya tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu kelipatan (dikali/dibagi), ditambah, atau dikurang.

Skala atau data Interval adalah skala yang sudah mempunyai makna hitung (kuantitatif). Skala ini mempersyaratkan satuan atau unit pengukuran harus sama dan teruji, seperti derajat, cm, kg, dll. Seorang siswa yang tingginya 167 cm dapat dikatakan lebih tinggi 2 cm daripada siswa lain yang tingginya 165 cm. Begitu pula dengan ukuran berat badan. Orang yang beratnya 100 kg sama dengan dua kali berat orang lain yang berbobot 50 kg. Orang yang mempunyai suhu badan 38 derajat lebih panas 1 derajat daripada orang lain yang bersuhu badan 37 derajat.

Skala atau data Rasio mempunyai ciri-ciri skala interval dan sudah mempunyai 0 (nol) mutlak. Misalnya, 0 (nol) dalam skala Termometer Calvin berarti sudah tidak ada panas lagi (molekul molekul sudah tidak bergerak lagi). Nol berarti “tidak ada sama sekali”. Jika ketidakhadiran siswa dalam satu minggu sama dengan 0 (nol) persen, itu berarti bahwa selama satu minggu semua siswa hadir di sekolah.

Persoalan pengukuran kependidikan atau pembelajaran adalah karena kita tidak mempunyai unit satuan ukuran yang tetap atau baku (seperti kg, derajat, yard, dll.). Persoalan ini dapat dilihat dari beragamnya standar pengukuran antar-guru antar-mata pelajaran, antar-sekolah, antar-daerah, apalagi antar-negara. Misalnya, angka 7 (tujuh) sering lebih bermakna sebagai lambang yang mempunyai berbagai interpretasi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab berbedanya penafsiran masyarakat. Pengaruhnya bahkan terkadang sangat merugikan. Contohnya, dalam penerimaan karyawan, ada instansi yang menetapkan syarat IPK 3,00 dari suatu perguruan tinggi, tetapi hanya 2,75 untuk perguruan tinggi lainnya. Bahkan ada lembaga yang sama sekali tidak mau menerima lulusan suatu perguruan tinggi karena tidak percaya terhadap sistem penilaian (termasuk penskalaan) di perguruan tinggi tersebut. Kasus penerimaan siswa baru berdasarkan hasil ujian nasional juga merupakan contoh penerapan ilusi skala penilaian.

2.  Skor atau Data Mentah
Skor atau data mentah adalah angka yang diberikan berdasarkan hasil penyelesaian soal-soal dalam suatu kegiatan tes. Untuk setiap jawaban benar lazimnya diberikan skor tertentu. Untuk soal-soal berbentuk obyektif, seperti pilihan ganda, biasanya diberikan skor 1 (satu) untuk setiap jawaban benar, sedangkan jawaban yang salah diberikan skor 0 (nol). Untuk soal-soal esai biasanya skor setiap butir tidak sama, karena harus mempertimbangkan tingkat kompleksitas masingmasing jawaban yang dituntut. Pada prinsipnya, semakin mudah suatu soal, maka bobot skoringnya makin rendah, sebaliknya semakin tinggi tingkat kesukaran soalnya makin tinggi bobot skoring yang diberikan. Misalnya, suatu perangkat tes yang terdiri atas 20 butir soal pilihan ganda dan 5 butir soal esai menghasilkan skor total 32, maka perincian bobotnya dapat ditetapkan sebagai berikut.

Tabel 9.3
Contoh Pembobotan Soal

Jika dikonversikan ke dalam rentang skala 0-10 (simbol “n”), maka pelaksana tes (tester) atau guru dapat menggunakan formula sebagaimana diterapkan pada bagian berikut.
Konversi selengkapnya dari skor atau data mentah ke dalam skor jadi (n) bagi setiap peserta tes menurut skala 0-10 dapat dicontohkan sebagaimana tercantum pada tabel 9.9.

Tabel 9.4
Konversi Skor atau Data Mentah (Hasil Tes) ke Nilai Berskala 0-10
(lihat tabel 9.3)

Perlu pula dikemukakan bahwa taraf kesukaran dari setiap soal untuk tes yang berbeda sangat bervariasi. Oleh karena itu skor mentah pada tes yang satu dengan tes yang lain tidak dapat dijadikan patokan ukuran taraf kemampuan yang sama.

3. Persentase Penguasaan Bahan
Penguasaan bahan atau disebut pula “daya serap” sering dilambangkan dengan persentase (%). Dalam suatu tes yang penskorannya menggunakan skala 0-10, seorang siswa yang memperoleh skor 7 (tujuh) dapat dikonversikan sebagai 70 persen telah menguasai bahan yang diujikan. Taraf penguasaan bahan ini ditetapkan sedemikian rupa, sehingga ada batas minimum penguasaan sebagai batas kelulusan (keberhasilan), atau sering pula disebut dengan istilah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) atau Standar Ketuntasan Belajar Mengajar (SKBM).
Kelemahan pokoknya terletak pada sifatnya yang “mutlak”. Pernyataan tingkat kemampuan seseorang dalam bentuk persentase pada hakikat menjadi tidak lebih sebagai suatu ilusi atau pernyataan artifisial, dalam arti bahwa tidak mungkin kita dapat menentukan penguasaan bahan seseorang sekian persen dari keseluruhan pengetahuan dalam mata pelajaran tertentu.

4. Penormaan
Suatu ketika penulis mengajukan pertanyaan kepada sejumlah guru dalam kegiatan perkuliahan, “apa arti angka 8 dalam suatu penyelenggaraan tes atau ulangan?”, ternyata hampir semuanya tidak dapat menjelaskan dengan tepat jawabannya. Hal yang sama juga terjadi pada pertanyaan, “apa arti rata-rata kelas sama dengan 7,5 yang diberikan dalam rapor siswa?”. Gambaran ini menunjukkan bahwa kelemahan dalam pengukuran dan penilaian tidak hanya terjadi pada saat persiapan, pembuatan alat evaluasi, dan pelaksanaannya, tetapi juga mungkin terjadi pada saat pengolahan data dan penafsiran hasilnya.
Jika penafsiran hasil tes dikenakan pula kepada masyarakat konsumen (orangtua dan pemakai lulusan) kondisinya bisa bertambah rumit. Misalnya, terjadi kasus perguruan tinggi berperkara di pengadilan dengan suatu lembaga pemerintah, karena lembaga pemerintah tersebut menolak lamaran lulusannya. Pada kasus lain, ada orangtua yang mencela hasil pekerjaan anaknya yang memperoleh skor 6, padahal anaknyalah yang terbaik di kelasnya (karena siswa-siswa lainnya mendapat skor kurang dari 6).
Istilah yang biasanya dipergunakan dalam kaitan ini adalah “skor mentah (angka hasil tes) tidak mempunyai makna, kecuali kalau disertai data pendukung yang memungkinkan seseorang membuat interpretasi terhadap skor tersebut”. Dengan perkataan lain, skor mentah tidak berbunyi jika tidak dimaknai. Data pendukung dimaksud antara lain adalah data deskriptif tentang tes, seperti jumlah soal, waktu pengerjaan tes, reliabilitas tes, galat baku tes, validitas tes, interkorelasi antar-bagian tes, dan skor jabaran kalau yang dilaporkan bukan skor mentah.
Dari kasus-kasus tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kalangan pendidik.
·         pengolahan hasil tes atau pengukuran hendaknya dilakukan secara benar, sehingga dapat dibaca oleh orang lain (orangtua, masyarakat, lembaga pemakai lulusan) sebagai data yang akurat dan berlaku umum.
·         pengolahan hasil tes atau pengukuran hendaknya disertai dengan penafsiran yang dapat dipahami dan sesuai dengan teknik dan kriteria yang tepat.
·         pengolahan dan penafsiran haruslah obyektif dan bermakna setara dengan lembaga lain atau yang berlaku umum.

Untuk mengatasi masalah penafsiran hasil yang berbeda-beda maka penormaan hasil tes menjadi amat penting. Penormaan yang dilakukan terhadap kelompok disebut data normatif. Data normatif akan menentukan posisi dan kompetensi seseorang dalam kelompok norma. Misalnya, jika mempergunakan norma jenjang persentil (0-100) maka jika siswa memperoleh hasil tes sama dengan 80, pada tingkat sekolah ia berada pada persentil ke-68 untuk level sekolah, persentil ke-77 untuk norma daerah, dan persentil ke-85 untuk norma nasional. Di samping untuk penentuan posisi relatif seseorang di dalam norma kelompok, data normative juga berguna untuk membuat keputusan tentang siswa (testee) yang bersangkutan dan memahami kompetensi peserta tes terhadap dimensi yang diukur dalam tes.
Di Indonesia, norma-norma yang biasanya dipergunakan adalah norma nasional; norma daerah atau regional (propinsi atau kabupaten/kota dan norma sekolah.

Penyusunan norma nasional merupakan yang tersulit dilakukan, karena banyaknya aspek yang harus dipertimbangkan, seperti aspek geografis, demografis, budaya, manajemen pendidikan, dll. Penyusunan norma daerah relatif lebih mudah, apalagi norma sekolah, karena semakin sempit cakupannya berarti semakin sederhana aspek-aspek yang memerlukan pertimbangan.

5. Batas Kelulusan atau Ketuntasan Belajar
Banyak pelaksana tes (tester) yang mengambil keputusan tentang lulus-tidak lulus (berhasil-gagal) peserta tes dengan menggunakan batas kelulusan atau ketuntasan lazim, yakni nilai ≥ 6,00. Dengan batas seperti ini, maka jika ada sejumlah skor, katakanlah 0-45, skor berapakah yang diluluskan atau dinyatakan tuntas?
Untuk menjawab pertanyaan di atas tadi, tester lalu mengkonversikan terlebih dahulu skor 0-45 ke dalam skala nilai 0-10. Cara yang dipakai adalah menggunakan rumus sebagai berikut:
Sebagai contoh, jika seorang siswa memperoleh skor 28, maka nilai yang diperoleh siswa berarti:
Nilai 6,22 tersebut di atas selalu diputuskan lulus atau tuntas. Cara yang demikian menggambarkan bahwa tester tidak mempunyai patokan atau norma kelulusan. Penentuan kelulusan sebaiknya menggunakan Penilaian Acuan Patokan (PAP) atau Penilaian Acuan Normatif (PAN).
PAP diterapkan dengan menetapkan terlebih dahulu patokan kelulusan sebelum tes diadakan (berdasarkan kriteria tertentu). Batas lulus atau ketuntasan yang termasuk kelompok PAP adalah batas lulus atau ketuntasan purposif. PAN mengisyaratkan penggunaan nilai rata-rata dan simpangan baku (standar deviasi). Batas lulus atau ketuntasan yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. Batas lulus atau ketuntasan purposive
Batas lulus purposif tidak memerlukan rata-rata kelas atau simpangan baku. Namun sebelum hasil tes diketahui telah ditetapkan kriteria kelulusan yang akan dipakai. Misalnya, menggunakan batas ≥ 75%. Dalam kasus skor yang bergerak antara 0-45 (seperti contoh sebelumnya), maka peserta tes yang lulus adalah 75% dari skor total (45), yakni siswa-siswa yang memperoleh skor 33,75 s.d. 45. Skor yang berada di bawah 33,75 dinyatakan gagal (tidak lulus). Batas lulus purposif ini sangat erat kaitannya dengan kualitas kelulusan. Semakin tinggi kriteria kelulusan yang dipergunakan maka akan semakin tinggi pula kualitas hasil belajar yang dituntut.
b. Batas lulus atau ketuntasan ideal
Batas lulus atau ketuntasan ideal menggunakan rata-rata ideal dan simpangan baku ideal. Rata-rata ideal adalah “setengah dari skor total”. Misalnya, total skor = 45, maka rata-rata ideal = ½ x 45 atau 22,50. Simpangan baku (Standar Deviasi atau SD) ideal adalah “sepertiga dari rata-rata ideal”. Dengan demikian, jika rata-rata ideal = 45, maka simpangan baku ideal = ⅓ x 22,50 atau 7,50. Setelah rata-rata ideal dan simpangan baku ideal diketahui, maka batas lulus ideal ditetapkan dengan rumus seperti berikut:
Dari contoh skor sebelumnya, maka jika rata-rata ideal ( X ) = 22,5 dan SD ideal = 7,5; peserta tes yang dinyatakan lulus atau tuntas belajarnya adalah yang memperoleh skor minimal = 22,5 + (0,25 x 7,5), atau 24,4 (siswa yang memperoleh skor antara 24-45). Batas lulus atau ketuntasan ideal ini ditetapkan sebelum tes diadakan, dengan catatan total skor (skor maskimal) sudah diketahui atau ditentukan.
c. Batas lulus atau ketuntasan actual
Batas lulus atau ketuntasan aktual mempersyaratkan skor peserta tes telah tersedia (aktual) atau sudah diketahui. Misalnya, diperoleh data hasil tes dari 10 peserta (siswa) sebagai berikut: Ardy = 27, Anny = 16, Betty = 37, Beni = 26, Dina = 20, Dona = 19, Ester = 22, Ferdy = 33, Gunawan = 40, dan Soni = 29. Dengan menggunakan rumus yang sama dengan batas lulus ideal (X + 0,25 SD), maka batas lulus atau ketuntasan aktual dapat dicari (dengan contoh data di atas).

6. Penyajian Skor/Data
Skor yang diperoleh peserta tes (testee) dan belum diolah disebut skor mentah (perhatikan kembali uraian sebelumnya). Skor mentah ini perlu dianalisis, agar dapat dibaca dan bermakna bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Analisis skor sampai berbentuk suatu nilai yang digunakan bagi suatu keperluan dalam membuat pertimbangan dimulai dengan menyusun atau menyajikan skor tersebut, menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan, dan akhirnya memberikan suatu pertimbangan. Penyajian skor mentah dapat menggunakan tabel (daftar nilai) yang sudah tersusun (distribusi frekuensi) atau tabel data mentah dan/atau dapat pula menggunakan gambar-gambar visual berbentuk grafik.

7. Tendensi Sentral
Analisis cenderungan bergitna inituk melihat kemampuan peserta tes secara kelompok ataupun keditciukan seseorang terhadap kelornpoknya. Secara umum sebenarnya, kemanmuan peserta tes dapat digambarkan melalui bentuk kurva normal. Artinya. dalam suatu kelompok terdapat sub kelompok (pengelompokan) ke dalam: (1)sejumlah siswa sangat kurang-kurang-dan agak kurang; (2) sejumlah siswa kurang-sedang-dan manipu (kurang pintar- sedang-dan pintar); (3) atau sejumlah siswa yang agak pintar-pintar-dan pintar sekali.
Untuk menemukan tendensi sentral (kecenderungan) memusat ada tiga indikator yang lazim dipergunakan, yaitu: (1) rata-rata (mean), terutama berupa rata-rata hitung; (2) modus atau nilai yang paling sering muncul atau paling banyak frekuensinya; dan (3) median atau nilai yang posisinya berada di tengah-tengah rentangan sekelompok nilai.

8. Variabilitas
Analisis variabilitas atau keragaman skor digunakan untuk mengetahui “sebaran skor” dalam suatu kumpulan data hasil tes. Berdasarkan hasil analisis
 variabilitas, pelaksana tes (tester) dapat mengetahui, bagaimana skor tersebut menyebar. Analisis variabilitas ini penting, karena kalau hanya berdasarkan analisis kecenderungan (tendensi sentral), tidak diketahui, bagaimana sebaran skor diperoleh peserta tes. Beberapa ukuran keragaman atau variabilitas yakni rentang (range), simpangan baku atau standar deviasi dan varians.


DAFTAR RUJUKAN

M. Tajudin Nur. Penelitian Pendidikan SD Unit 9.


Note: Untuk bahan Analisis Data Hasil Non-Tesnya bisa dilihat pada postingan selanjutnya,,, see you :)




Kamis, 05 Oktober 2017

PENGUMPULAN DATA DALAM PTK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Penelitian pada hakikatnya merupakan wahana untuk menentukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran itu dapat dilakukan oleh para penelitian dengan melalui beberapa proses yang tertera dalam prosedur-prosedur tertentu. Salah satu tindakan terpenting bagi seorang peneliti adalah pengumpualan data yang digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan atau tidak keberhasilan tindakan perbaikan pembelajaran yang dicobakan pada kelas tertentu. Teknik pengumpulan data utama yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas adalah teknik pengamatan atau observasi, baik pengamatan sekilas maupun pengamatan terlibat. Pengumpulan data dapat juga dilakukan melalui teknik wawancara, baik wawancara biasa, wawancara terstruktur, amupun wawancara mendalam. Selain itu, penelitian juga menggunakan teknik assessment:baik tes subjektef (tes buatan peneliti dan guru) maupun tes objektif. Sebagaimana yang telah diketahui, tidak semua data dapat dikumpulkan melalui satu teknik saja. Tidak semua data dipergunakan dapat dikumpulkan melalui teknik pengamatan.
Demikan pula tidak semua data yang diperlukan dapat dikumpulkan melalui teknik assessment. Tiap-tiap teknik pengumpulan data memiliki kelebihan dan keterbatasan. Pengamatan terbatas untuk pengumpulan data yang dilihat secara kasat mata, baik yang menggunakan indera penglihatan (mata) maupun kamera audio visual. Sedangkan teknik wawancara terbatas untuk menggali data tentang apa yang diucapkan, dipikirkan dan dirasakan, termasuk (minat, kepekaan dan penghargaan) informan. Dipihak lain, teknik assessment dapat digunakan untuk menggali data tentang kemampuan (kompetensi) seseorang, yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

B.     Rumusan Masalah
Makalah ini hanya membahas tentang:
1.      Jenis-jenis data dalam penelitian
2.      Teknik pengumpulan data melalui tes

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan kami adalah :
1.      Menjelaskan jenis-jenis data dalam penelitian
2.      Menjelaskan teknik pengumpulan data melalui tes

D.    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui jenis-jenis data dalam penelitian
2.      Untuk mengetahui teknik pengumpulan data melalui tes

E.     Metode Penulisan
Penulisan menggunakan metode pustaka

BAB II
PENGUMPULAN DATA DALAM PTK

A. Jenis-jenis Data dalam Penelitian
Dalam kegiatan pembelajaran yang Anda lakukan sehari-hari, sesungguhnya Anda berhadapan dengan data. Hampir tidak ada aktivitas atau langkah pembelajaran yang tidak terkait dengan data. Ketika Anda memberikan pertanyaan kepada siswa, tentu Anda ingin mengetahui apakah siswa tersebut mendengar dan memahami apayang Anda jelaskan bukan? Atau Anda ingin mengetahui tingkat keaktifan siswa tersebut. Ketika Anda memberikan soal-soal latihan, memberikan pekerjaan rumah, melakukan ulangan mewawancarai siswa, mengamati aktivitas praktikum dan sebagainya, semuanya bertujuan untuk memperoleh data. Di dalam kegiatan penelitian, keberadaan data merupakan komponen yang sangat penting, karena seperti apapun penelitian yang dirancang oleh penelititujuannya adalah untuk memperoleh data. Jika kita kaji dan kita pilah secara cermat, maka kita akan menemukan beberapa jenis data. Kerlinger (1993) mengemukakan bahwa pemahaman terhadap jenis data dalam penelitian akan mengarahkan seorang peneliti untuk memilih instrumen yang cocok dengan data yang diinginkannya tersebut. Menurut jenisnya data dalam penelitian dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu data nominal, data ordinal, data interval, dan data ratio (Kerlinger, 1993). Berikut mari kita cermati penjelasan dan contoh dari masing-masing jenis data tersebut.

1. Data nominal
Data nominal adalah suatu data yang hanya terpilah menjadi dua bagian atau dua pilihan, atau dua kategori dimana yang satu dengan lainnya terpisah secara tegas (Kerlinger, 1993; Babbie, 1986; Gay, 1981).
Contoh jenis data nominal:
• Laki-laki Perempuan
• Tua Muda
• Kota Desa
• Ya Tidak
• Siang Malam
• Sekolah Tidak sekolah
• Kaya Miskin
• Lulus Tidak lulus
dan seterusnya.

2. Data ordinal
Data ordinal ialah suatu data yang menunjukkan urutan dalam kedudukan masing-masing data/data urutan peringkat/jenjang yang tidak menunjukkan kuantitas absolut (Kerlinger, 1993).
Contoh data ordinal:
• Peringkat kejuaraan.
• Urutan angka 1, 2, 3, 4, dan seterusnya.
• Jenjang pendidikan.
• Pemeluk agama/keyakinan.
• Kelompok etnik/suku.
• Jenis kendaraan.
• Kelompok makanan.
• Jenis pekerjaan, dll.

3. Data interval
Data interval adalah suatu data yang menunjukkan jarak yang memiliki ciri nominal dan ordinal. Di samping itu jarak keangkaan yang sama pada skala interval mewakili jarak yang sama pula dalam hal pemilikan sifat yang diukur.
Contoh data interval:
a b c d e
1 2 3 4 5
a/1 = Tidak pernah Sangat tidak setuju
b/2 = Hampir tidak pernah Tidak setuju
c/3 = Pernah Ragu-ragu
d/4 = Kadang-kadang Setuju
e/5 = Selalu Sangat setuju

4. Data ratio
Data ratio/nisbat ialah data pengukuran yang sangat tinggi, yang mempunyai ciri-ciri skala nominal, ordinal, dan interval, dan juga memiliki nol mutlak atau nol natural yang mengandung makna empirik. Jika suatu pengukuran menggunakan nol pada suatu skala rasio, maka dapat dikatakan bahwa obyek tertentu tidak memiliki sifat yang sedang diukur. Angka-angka pada skala rasio menunjukan besaran sesungguhnya pada sifat yang diukur. Untuk ilmu sosial jarang sekali menggunakan skala rasio.
Contoh data skala rasio
Skor 8 mempunyai prestasi 2 x lebih baik dari yang mendapatkan skor 4 dalam suatu mata pelajaran (Kerlinger, 1993).
Sampai di sini Anda telah mengkaji penggolongan data menurut jenisnya. Coba Anda kelompokkan data dalam proses pembelajaran Anda sesuai dengan pengelompokan di atas!

B. Teknik Pengumpulan Data Melalui Tes
Untuk memperoleh data di dalam kegiatan penelitian, seorang peneliti dapat menggunakan berbagai teknik. Penggunaan dari salah satu atau beberapa teknik pengumpulan data sangat tergantung pada jenis data yang akan dikumpulkan, tujuan penelitian dan tentu saja pemahaman peneliti tentang teknik yang akan dipergunakan tersebut serta kemampuannya untuk melaksanakan penelitian denganmempertimbangkan berbagai faktor yang terkait. Sebagai contoh, seorang peneliti melakukan penelitian tentang motivasi dan hasil belajar siswa pada beberapa sekolah yang telah ditentukannya. Terkait dengan penelitian tersebut seorang peneliti terlebih dahulu menjelaskan jenis data yang akan dikumpulkan. Untuk mengkaji motivasi siswa, misalnya guru dapat menggunakan beberapa teknik yang dapat dipilih, misalnya observasi, wawancara, atau kuesioner. Untuk menghimpun data tentang hasil belajar siswa, dapat dipergunakan tes yang dibuat peneliti sendiri, peneliti bersama guru, atau menggunakan instrumen tes yang standar. Di samping menggunakan tes, juga dapat mengkaji hasil-hasil belajar, hasil-hasil ulangan siswa yang lebih dikenal dengan teknik studi dokumenter.
Dalam pelaksanaan tugas Anda sehari-hari, pelaksanaan tes sebagai caramemahami kemampuan siswa tentu sudah sangat tidak asing bagi Anda. Namun untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan menambah wawasan Anda tentang cara-cara pengumpulan data melalui tes, maka bagian ini perlu kita kaji bersama dengan lebih cermat.
Teknik tes atau kadang-kadang juga disebut sistem testing merupakan usahauntuk memahami atau memperoleh data tentang siswa. Dalam pandangan lain juga dikemukakan bahwa tes sebagai suatu prosedur yang sistematis untuk mengobservasi (mengamati) tingkah laku individu, dan menggambarkan atau mendeskripsikan tingkah laku itu melalui skala angka atau sistem kategori. Nurkancana dan Sumartana (1986: 25) mendefinisikan tes sebagai suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh anak atau sekelompok anak sehingga menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi anak tersebut, yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh anak-anak lain atau dengan nilai standar yang ditetapkan. Jika defenisi ini dianalisis, maka kita menemukan beberapa hal penting yang dapat kita simpulkan yaitu:
1. Tes adalah suatu bentuk tugas yang terdiri dari sejumlah pertanyaan atau perintah-perintah.
2. Tes diberikan kepada seorang anak atau sekelompok anak untuk dikerjakan.
3. Bahwa respon atau jawaban anak atau kelompok anak tersebut dinilai.

Penggunaan teknik tes, khususnya tes prestasi belajar bagi guru di sekolahbertujuan untuk:
a. Menilai kemampuan belajar murid.
b. Memberikan bimbingan belajar kepada murid.
c. Mengecek kemajuan belajar.
d. Memahami kesulitan-kesulitan belajar.
e. Memperbaiki teknik mengajar.
f. Menilai efektivitas (keberhasilan) mengajar.
Arikunto (1988), mengemukakan bahwa tes sebagai instrumen pengumpulandata dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.      Tes buatan guru, yaitu tes yang disusun oleh guru dengan prosedur tertentu, akantetapi belum mengalami uji coba berkali-kali sehingga tidak diketahui ciri-ciri dan kebaikannya.
2.      Tes standar (standardized tes), yaitu tes yang biasanya sudah tersedia di lembaga testing, yang sudah terjamin keampuhannya. Tes ini sudah mengalami uji coba berkali-kali, direvisi berkali-kali sehingga sudah dapat dikatakan cukup baik. Di dalam setiap tes yang terstandar, sudah dicantumkan petunjuk pelaksanaan, waktu yang dibutuhkan, bahan yang tercakup, dan hal-hal lain, misalnya validitas dan reabilitas tes.

Dalam pembahasan tentang bentuk-bentuk tes, Gall & Borg (2002: 209)mengemukakan terdapat beberapa bentuk tes performance, yaitu; (a) intelligencetests atau tes intelegensi, (b) aptitude tests atau tes sikap, (c) achievement tests atau tes hasil belajar, (d) diagnostic tests atau tes diagnostik, dan performanceassessment atau penilaian kinerja.
Di antara bentuk tes yang paling sering dipergunakan guru adalah tes hasilbelajar. Jika dilihat dari beberapa dimensi atau sudut pandangan, tes hasil belajar sebagai salah satu bentuk yang diarahkan untuk mengetahui hasil atau prestasi belajar siswa dibedakan atas beberapa jenis. Berdasarkan jumlah atau pengikut tes, maka tes hasil belajar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu tes individual dan tes kelompok (Nurkancana dan Sumartana, 1986: 25). Tes individual adalah suatu tes dimana pada saat tes tersebut diberikan kita hanya menghadapi satu orang anak. Sedangkan tes kelompok, yaitu dimana pada saat tes diberikan, kita menghadapi sekelompok anak.
Tes hasil belajar disamping dapat dikaji dari jumlah atau pengikut tessebagaimana dikemukakan di atas, juga dapat ditinjau dari segi penyusunannya. Dilihat dari segi penyusunannya tes dibedakan atas tiga jenis, yaitu tes buatan guru, tes buatan orang lain yang tidak distandarisasi, dan tes standar atau tes yang sudah distandarisasi.
a.       Tes buatan guru, yaitu tes yang disusun sendiri oleh guru yang akanmempergunakan tes tersebut.
b.      Tes buatan orang lain yang tidak distandarisasi, adalah tes yang dibuat orang lain yang dianggap cukup baik yang dapat dipergunakan oleh guru. Tes jenis ini misalnya tes yang disusun oleh teman-teman sejawat guru yang lebih berpengalaman, atau tes yang dimuat pada akhir tiap-tiap bab dari bukupelajaran.
c.       Tes standar atau tes yang telah distandarisasi, yaitu tes yang telah cukup valid dan reliabel berdasarkan atas uji coba berkali-kali terhadap sampel yang cukup luas dan representatif.

Selain dari sudut pandang di atas, jenis tes hasil belajar juga dapat dikaji daribentuk jawaban atau bentuk respon. Berdasarkan bentuk jawaban atau bentuk respon ini, tes hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Tes tindakan, yaitu suatu tes dimana jawaban atau respon yang diminta dari anak berbentuk tingkah laku. Jadi anak berbuat sesuai dengan perintah atau pertanyaan yang diberikan. Misalnya dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, untuk mengetahui apakah seorang anak sudah dapat berenang dengan gaya tertentu, maka cara yang paling baik adalah menyuruh anak tersebut mempraktekkan langsung cara berenang yang dikehendaki. Jika anak dapat melakukan sesuai dengan kriteria yang ditentukan guru, maka berarti anak tersebut telah menguasai tes yang diberikan dalam bentuk tindakan tersebut.
2.      Tes verbal, yaitu suatu tes, dimana jawaban atau respon yang diberikan oleh anak-anak berbentuk bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Dalam keadaan ini, anak akan mengucapkan atau menulis jawabannya sesuai dengan pertanyaan atau perintah yang diberikan.

Selain ditinjau dari bentuk jawaban atau respon yang diberikan, tes juga dapat dilihat dari bentuk pertanyaan yang diberikan oleh guru. Bentuk tes ini tentu sudah sangat sering Anda terapkan didalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Jenis tes ini dibedakan menjadi dua, yaitu tes obyektif dan tes essay.

1. Tes obyektif
Tes obyektif adalah bentuk tes yang terdiri dari item-item yang dapat dijawabdengan cara memilih salah satu alternatif yang benar dari sejumlah alternatif yang tersedia, atau dengan mengisi jawaban dengan beberapa perkataan atau simbul tertentu. Ada beberapa bentuk tes obyektif, yaitu:
a. Tes benar salah (true-false), adalah tes yang butir-butir soalnya mengharuskan agar siswa mempertimbangkan suatu pernyataan sebagai pernyataan yang benar atau salah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam penyusunan tes obyektif bentuk benar-salah ini:
- Meyakinkan sepenuhnya bahwa butir soal tersebut dapat dipastikan benar atau salah.
- Jangan menulis butir soal yang memindahkan satu kalimat secara harfiah dari teks.
- Jangan menulis butir soal yang memperdayakan.
- Menghindari pernyataan negatif.
- Menghindari pernyataan berarti ganda.
- Menggunakan suatu bentuk yang tepat.
- Menghindari kata-kata kunci, seperti pada umumnya, semua, dan yang lain.
- Menghindari jawaban benar yang terpola.
b. Tes pilihan ganda (multiple choice), adalah suatu item yang terdiri dari suatu statemen yang belum lengkap. Untuk melengkapi statemen tersebut disediakan beberapa statemen sambungan. Satu diantaranya merupakan sambungan yang benar sedangkan yang lain adalah sambungan yang tidak benar (Nurkancana dan Sumartana, 1986; Dimyati dan Mudjiono, 1994). Item multiple choice ini dapat pula berupa suatu pertanyaan yang telah disediakan beberapa buah jawaban, dimana hanya satu dari jawaban-jawaban yang disediakan tersebut merupakan jawaban yang benar. Alternatif pilihan yang disediakan disebut “option”, sedangkan. Jawaban-jawaban atau statemen sambungan yang tidak benar disebut pengecoh. Bloom, 1981 (Dimyati dan Mudjiono, 2004: 200) mengingatkan beberapa kaidah yang harus diperhatikan didalam penyusunan soal pilihan ganda.
- Pokok soal (stem) yang merupakan permasalahan harus dirumuskan secara jelas.
- Perumusan pokok soal dan alternatif jawaban hendaknya merupakan pernyataan yang diperlukan saja.
- Untuk satu soal, hanya ada satu jawaban yang benar atau yang paling benar.
- Sedapat mungkin dihindarkan perumusan pernyataan yang bersifat negative pada pokok soal.
- Alternatif jawaban (option) sebaiknya logis, dan pengecoh harus berfungsi (menarik).
- Diusahakan agar tidak ada petunjuk untuk jawaban yang benar.
- Diusahakan agar mencegah penggunaan pilhan jawaban yang terakhir berbunyi “semua pilihan jawaban di atas benar”, atau “semua pilihan jawaban di atas salah”.
- Diusahakan agar pilihan jawaban homogen, baik dari segi isi maupun panjang pendeknya pertanyaan.
- Apabila pilihan jawaban berbentuk angka, susunlah secara berurutan dariangka yang terkecil diletakkan di atas sampai angka terbesar yang diletakkan di bawah.
- Di dalam pokok soal diusahakan tidak menggunakan ungkapan atau kata-kata yang bersifat tidak tentu, seperti seringkali, kadang-kadang, pada umumnya dan kata-kata sejenis.
- Diusahakan agar jawaban butir soal yang satu tidak bergantung dari jawaban butir soal yang lain.
- Dalam merakit soal diusahakan agar jawaban yang benar (yang menjadikunci jawaban) letaknya tersebar antara a, b, c, d, atau ditentukan secara acak, sehingga tidak terjadi pola jawaban tertentu.
c. Tes menjodohkan (Maching), adalah suatu bentuk tes yang biasanya terdiri dari dua kolom yang paralel, dimana masing-masing berisi uraian-uraian, keteranganketerangan atau statemen. Dengan kata lain merupakan bentuk tes yang butirbutir soalnya terdiri dari satu daftar premis dan satu daftar jawaban yang sesuai (Dimyati dan Mujiono, 2004; Nurkancana, 1986: 36). Dalam penyusunan soal bentuk menjodohkan ini, ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan.
- Meyakinkan bahwa pertanyaan dapat dijawab dengan kata atau penggalan kalimat yang mudah atau khusus, dan hanya ada satu jawaban yang benar.
- Menggunakan bentuk yang cocok.
- Jangan memutus-mutus butir soal melengkapi.
- Menghindari pemberian petunjuk ke arah jawaban yang benar.
- Menunjukkan bagaimana seharusnya jawaban yang benar.

Tes obyektif sebagai salah satu bentuk teknik pengumpulan data, khususnyaberkenaan dengan siswa, memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah:
1.      Dapat dijawab dengan cepat, sehingga memungkinkan siswa menjawab sejumlah besar pertanyaan dalam satu periode tes. Terkait dengan hal ini maka materi tes yang diberikan dapat mencakup lebih luas bahan pelajaran yang disampaikan.
2.      Reliabilitas skor yang diberikan terhadap pekerjaan siswa dapat lebih terjamin.
3.      Jawaban-jawaban tes obyektif dapat dikoreksi dengan mudah dan cepat.

Di samping beberapa kebaikan atau kelebihan tes obyekif sebagaimanadikemukakan di atas, ada juga segi-segi kelemahannya, antara lain:
1.      Kemungkinan siswa untuk menerka jawaban akan lebih besar
2.      Karena jumlah item pada tes obyektif pada umumnya lebih banyak, maka diperlukan biaya yang lebih besar.
                                                   
2. Tes Essay
Tes essay adalah suatu bentuk tes yang terdiri dari suatu pertanyaan yang menghendaki jawaban berupa uraian-uraian yang relatif panjang. Bentuk-bentuk petanyaan yang mengharuskan siswa untuk menjelaskan, membandingkan, menginterpretasikan atau mencari perbedaan. Semua bentuk pertanyaan mengharuskan siswa untuk mampu menunjukkan pengertian atau pemahaman mereka terhadap materi yang dipelajari (Nurkancana dan Sumartana, 1986: 42).
Sebagaimana bentuk tes obyektif, tes bentuk essay juga memiliki kebaikan dan kelemahan. Kebaikannya antara lain:
- Tes essay sangat tepat dipergunakan untuk menilai atau mengukur hasil dari suatu proses belajar yang kompleks, yang sukar diukur dengan menggunakan tes obyektif.
- Tes essay memberi peluang yang besar kepada siswa untuk menyusun jawaban sesuai dengan jalan pikirannya sendiri. Keadaan ini sangat penting untuk melatih siswa agar terbiasa mengemukakan jalan pikirannya secara terarah dan sistematis.

Sedangkan beberapa kelemahan tes essay adalah:
- Pemberian skor terhadap jawaban tes essay kurang reliabel terutama disebabkan karena tidak hanya satu jawaban yang biasa diterima. Di samping itu juga disebabkan tingkat kebenaran jawaban tersebut sangat bervariasi.
- Tes essay menghendaki jawaban-jawaban yang relatif panjang. Karena itu dibutuhkan waktu yang lebih lama pula untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan, sehingga dalam satu periode tes hanya dapat diberikan beberapa item tes saja.
- Materi yang diberikan di dalam tes tidak dapat mencakup secara luas materi pelajaran yang telah disampaikan, sehingga sangat dimungkinkan hasil yang dicapai bersifat kebetulan, karena pertanyaan yang diberikan secara kebetulan sesuai dengan bagian materi yang dipelajarinya.
- Mengoreksi tes essay memerlukan waktu yang cukup lama, serta menghabiskan energi yang cukup banyak terlebih lagi bilamana peserta tes jumlahnya cukup besar, karena setiap jawaban harus dibaca satu persatu secara teliti.

Untuk mengurangi beberapa kelemahan pada tes essay di atas, perludiperhatikan beberapa saran berikut:
a.       Materi pelajaran yang akan diukur melalui tes essay perlu diperiksa terlebih dahulu. Bagian yang akan diukur melalui tes essay hendaknya hanya bagianbagian yang kurang cocok jika diukur dengan tes obyekif.
b.      Item-item tes essay hendaknya dibuat dengan jelas sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan siswa.

Pentingnya pemahaman tentang tes sebagai salah satu teknik pengumpulan data digambarkan dalam contoh pengambilan data dengan Skala Inteligensi Stanford- Binet sebagaimana dipaparkan (Arikunto, 1998), kasus di mana ada enam orang wanita dan enam orang pria melaksanakan tes Stanford Binet terhadap sampel anakanak usia 4 tahun. Hasil tes menunjukkan anak-anak yang dites oleh wanita mencapai IQ yang lebih tinggi (89,61) dibandingkan dengan anak-anak yang dites oleh pria (83,16), suatu perbedaan yang cukup signifikan. Contoh tersebut mengilustrasikan kepada kita bahwa hasil pengetesan tidak secara murni dapat menggambarkan IQ, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh tester. Karena itu dalam pelaksanaan tes seperti itu menurut Arikunto (1998), perlu diadakan latihan bagi tester agar dapat mengurangi pengaruh yang tidak diinginkan yang dapat merugikan orang-orang yang mengikuti tes tersebut. Untuk meningkatkan obyektivitas hasil tes ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
a. Memberi kesempatan berlatih kepada tester (orang yang melaksanakan tes).
b. Menggunakan tester lebih dari satu orang, kemudian hasilnya dibandingkan.
c. Melengkapi instrumen tes dengan manual atau pedoman pelaksanaan selengkap dan sejelas mungkin.
d. Menciptakan situasi tes sedemikian rupa sehingga membantu tester (orang yang mengerjakan tes) tidak mudah terganggu oleh lingkungan.
e. Memilih situasi tes sebaik-baiknya, misalnya bukan malam Minggu, bukan dalam keadaan udara yang sangat panas, bukan sehabis liburan panjang, menjelang ujian, dan sebagainya.
f. Perlu menciptakan kerjasama yang baik dan rasa saling percaya antara tester yang satu dengan tester lainnya.
g. Menentukan waktu untuk mengerjakan tes secara tepat, baik ketepatan pelaksanaan maupun lamanya.
h. Memperoleh izin dari atasan jika tes tersebut dilaksanakan di sekolah atau di kantor-kantor.

C. Pengamatan atau Observasi
Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya sudah ditekankan bahwa pelaksanaan tindakan di dalam PTK secara bersamaan juga dilakukan observasi dan pinterpretasi, sehingga dapat dikatakan pelaksanaan tindakan dan observasi/interpretasi berlangsung secara simultan. Artinya, data yang diamati tersebut langsung diinterpretasikan, tidak sekedar direkam. Misalnya, jika seorang siswa berhasil mengerjakan sesuatu dengan baik, kemudian guru memberi pujian kepada siswa tersebut, yang direkam bukan hanya jenis pujian yang diberikan tetapi juga dampaknya bagi siswa yang mendapat pujian. Dampak ini dapat diinterpretasikan dari sikap dan partisipasi siswa dalam pembelajaran setelah mendapat pujian. Dengan cara ini, guru sebagai aktor utama dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian, sehingga komitmennya sebagai pengajar tidak terganggu oleh metode penelitian yang sedang diterapkan. Misalnya, jika ternyata pujian yang diberikan membuat siswa menjadi bahan ejekan, guru akan mengubah cara memberi penguatan. Namun, perlu dicatat, tidak semua data memerlukan interpretasi. Ada hasil pengamatan yang hanya merupakan rekaman faktual tanpa memerlukan interpretasi, sehingga pengamat cukup hanya merekam apa yang dilihat tanpa perlu memberi makna kepada hasil rekaman. Misalnya, sebagaimana yang dirujuk oleh Joni (1998), pengamatan ala Flanders yang hanya merekam data dalam tiga kategori yaitu: pembicaraan guru, pembicaraan siswa, dan sepi (tanpa pembicaraan), tidak memerlukan interpretasi pada saat rekaman dilakukan. Inilah yang dinamakan “lowinferenceobservation”, sedangkan pengamatan yang mempersyaratkan interpretasi atau penafsiran ketika merekam data disebut sebagai “high-inference observation”.
Pelaksanaan observasi sebagai alat pengumpulan data memerlukan persiapan. Salah satu komponen yang perlu diperhatikan didalam persiapan pelaksanaan observasi adalah cara perekaman data. Artinya, apa yang harus direkam dan bagaimana merekamnya melalui observasi tersebut harus ditentukan secara jelas. Misalnya pada PTK yang dilaksanakan guru, data yang dikumpulkan adalah berkenaan dengan partisipasi siswa di dalam kegiatan diskusi kelompok, maka terlebih dahulu guru menentukan cara merekam data, apakah akan menggunakan format observasi atau menggunakan catatan lapangan. Sesuai dengan hakekat PTK dan mengacu kepada peran guru sebagai aktor utama dalam PTK, idealnya observasi tersebut dilakukan oleh guru sendiri. Namun, jika observasi atau perekaman data tersebut terlalu menyita waktu guru dan mengakibatkan konsentrasi guru dalam mengajar terganggu, maka guru dapat menggunakan bantuan alat perekam atau meminta teman sejawat untuk membantu mengumpulkan data melalui observasi.
Agar teknik observasi ini dapat Anda pahami dengan baik serta dapat Anda pergunakan sesuai dengan prosedur yang benar, berikut ini mari kita bahas bersama beberapa aspek yang berkaitan dengan observasi, mulai dari prinsip dan jenisjenisnya, tujuannya, serta prosedur pelaksanaannya.

1. Prinsip dan Jenis Observasi
Secara sederhana, observasi dapat diartikan sebagai prosedur sistematis danbaku untuk memperoleh data (Kerlinger, 1993). Dalam pembahasan Cartwright and Cartwright (1998: 3), observasi merupakan proses pengamatan secara sistematis dengan melakukan perekaman terhadap perilaku tertentu untuk tujuan pembuatan keputusan-keputusan pengajaran. Terkait dengan proses pembelajaran dan pelaksanaan observasi, ada beberapa hal yang perlu dilakukan guru:
1.      Guru harus memutuskan apa yang akan diajarkan serta apa yang harus siswa lakukan didalam pencapaian tujuan pembelajaran.
2.      Guru harus memutuskan bagaimana konsekuensi tujuan pembelajaran dan prosedur pembelajaran.
3.      Guru harus memutuskan bagaimana prosedur atau metode melaksanakan pembelajaran.
4.      Guru perlu memutuskan bahan yang dipergunakan dan bagaimana menyajikannya kepada siswa.
5.      Guru harus menentukan bagaimana menata atau mengontrol situasi pembelajaran di kelas.
6.      Guru harus memutuskan cara mengorganisasikan waktu yang tersedia di dalam kegiatan pembelajaran.
7.      Guru harus memutuskan cara mengelompokkan siswa di dalam proses pembelajaran.
8.      Guru harus memutuskan cara menciptakan lingkungan kelas dengan baik.
9.      Guru harus menentukan kapan dan bilamana diperlukan resourcher person untuk mendukung kelancaran kegiatan pembelajaran.
Observasi yang baik mempunyai prinsip dasar atau karakteristik yang harusdiperhatikan, baik oleh pengamat maupun yang diamati. Hopkins (1993) menyebutkan ada lima prinsip dasar atau karakteristik kunci observasi, yang secara singkat dapat dideskripsikan seperti berikut ini.

a. Perencanaan Bersama
Meskipun di dalam PTK sagat disarankan agar guru dapat melakukan sendiri pengumpulan data, namun tidak tertutup kemungkinan guru tersebut membutuhkan bantuan orang lain bilamana hal itu memang benar-benar diperlukan. Perencanaan bersama adalah upaya membangun kesepakatan bersama antara guru yang melaksanakan tindakan dengan pengamat yang membantu proses pengamatan selama kegiatan pembelajaran dilakukan. Perencanaan bersama ini dilakukan terutama jika guru yang melaksanakan PTKmembutuhkan bantuan orang lain, misalnya rekan-rekan sejawat yang akan membantu mengamati proses pembelajaran yang dilakukannya. Perencanaan bersama ini bertujuan untuk membangun rasa saling percaya dan menyepakati beberapa hal seperti fokus yang akan diamati, pelajaran yang akan berlangsung, serta aturan lain seperti berapa lama pengamatan akan berlangsung, bagaimana sikap pengamat kepada siswa, dan dimana pengamat akan duduk.

b. Fokus
Fokus pengamatan merupakan aspek-aspek pokok yang menjadi sasaran utama pengamatan. Fokus pengamatan mungkin sangat luas atau umum, tetapi dapat pula sangat khusus atau spesifik. Fokus yang luas membutuhkan pertimbangan dan penafsiran yang lebih mendalam serta subyektivitas akan sulit dihindari. Di dalam menentukan aspek yang diamati, hal yang harus diingat peneliti adalah, semakin banyak objek yang diamati, akan semakin sulit, dan hasilnya akan semakin tidak teliti (Arikunto, 1998: 135). Karenanya diupayakan agar focus tidak terlalu luas, karena fokus yang terlalu luas disamping sulit diamati, juga kurang bermanfaat bagi guru yang diamati. Sebaliknya, fokus yang sempit atau spesifik akan menghasilkan data yang sangat bermanfaat sebagai data dan informasi bagi guru yang melaksanakan PTK.

c. Membangun Kriteria
Kriteria observasi adalah patokan yang ditetapkan untuk melihat tingkat keberhasilan observasi. Observasi akan sangat membantu guru, jika kriteria keberhasilan atau sasaran yang ingin dicapai sudah disepakati sebelumnya. Dengan kriteria seperti ini, pengamat dapat merekam data yang relevan secara cermat sesuai dengan aspek-aspek yang dikaji. Karena itu kesepakatan bersama tentang kriteria yang menjadi patokan ini merupakan bagian penting untuk mendukung terkumpulnya data yang diinginkan bersama antara pengamat dan guru yang melaksanakan PTK.


d. Keterampilan Observasi
Seorang pengamat yang baik memiliki tiga keterampilan, yaitu: (1) dapat menahan diri untuk tidak terlalu cepat memutuskan dalam menginterpretasikan suatu peristiwa; (2) dapat menciptakan suasana yang memberi dukungan dan menghindari terjadinya suasana yang dapat mengganggu iklim kelas, dan (3) menguasai berbagai teknik untuk menemukan peristiwa atau interaksi yang tepat untuk direkam, serta alat / instrumen perekam yang efektif untuk episodetertentu. Cartwright dan Cartwright (1998: 46) mengemukakan beberapapertanyaan yang mengarahkan pada jenis keterampilan yang dibutuhkan untukmencapai tujuan observasi yang dilakukan, yaitu:
1.      Siapa yang merancang observasi.
2.      Siapa atau apa yang akan diamati. Pertanyaan ini berkenaan denganpemahaman terhadap sasaran observasi, misalnya perilaku siswa, perilakuguru dalam mengajar, cara-cara menggunakan alat bantu pembelajaran, danseterusnya.
3.      Dimana observasi dilakukan. Hal ini berkaitan dengan keharusan untukmemahami kondisi atau lingkungan tempat pelaksanaan kegiatan yang ingindiobservasi.
4.      Kapan waktu pelaksanaan observasi. Hal ini mengingatkan akan pentingnyakesesuaian waktu pelaksanaan dengan waktu pengamatan serta pemahamantentang tahap-tahap kegiatan yang akan diamati.
5.      Bagaimana data dari kegiatan observasi itu akan direkam. Pertanyaan iniberkenaan dengan keharusan pengamat untuk terampil memilih danmenggunakan cara pengumpulan atau perekaman data.

e. Balikan (Feedback)
Observasi yang dilakukan langsung oleh guru sendiri yang melaksanakan PTK,mungkin balikan ini dapat segera dilakukan guru setelah melaksanakan tindakanatau proses pembelajaran. Sedangkan untuk kegiatan observasi yang dilakukanoleh pengamat, bukan langsung oleh guru sendiri yang melaksanakan PTK,balikan hasil observasi dapat dimanfaatkan jika ada balikan yang tepat yangdisajikan dengan memperhatikan secara cermat setiap langkah yang dilakukan.

Perlu juga dipahami, bahwa observasi dilihat dari pelaksanaannya dapatdipahami dalam beberapa bentuk. Wardani (2004) mengemukakan beberapabentuk observasi sebagai berikut.

1. Observasi Terbuka
Ciri yang dapat dilihat dari bentuk observasi terbuka adalah dimana pengamattidak menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan teknik-teknik tertentu untuk merekam fenomena-fenomena yang diselidiki. Jikaada seseorang yang melakukan pengamatan terhadap aktivitas Anda ketikamengajar di kelas, Anda dapat perhatikan. apakah pengamat tersebutmenggunakan lembar observasi atau tidak dalam proses pencatatan yangdilakukannya. Jika tidak, maka pengamatan yang dilakukan terhadap Anda dapat dikategorikan sebagai observasi terbuka. Pengamat mengamati aktivitasdan kelas Anda kemudian membuat catatan pada kertas kosong tentang jalanpelajaran yang berlangsung.

2. Observasi Terfokus
Berbeda halnya dengan observasi terbuka, observasi terfokus secara khususditujukan untuk mengamati aspek-aspek tertentu dari pembelajaran.Misalnya, mengamati kemampuan siswa bekerjasama dalam kegiatan diskusi,kemampuan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, kemampuan melakukangerakan-gerakan tertentu dalam latihan tari. Fokus yang telah ditetapkandalam kegiatan observasi menjadi petunjuk atau memberikan arah untukmengumpulkan data yang dibutuhkan.

3. Observasi Terstruktur
Berbeda dengan observasi terbuka hanya menggunakan kertas kosongsebagai alat perekam data, observasi terstruktur menggunakan instrument observasi yang terstruktur dan siap pakai, sehingga pengamat hanya tinggalmembubuhkan tanda (v) pada tempat yang disediakan. Misalnya, yangdirekam adalah frekuensi penguatan yang diberikan, atau jumlah pertanyaanyang diajukan, atau jumlah siswa yang menjawab secara sukarela, ataujumlah siswa yang mengajukan pertanyaan. Pengamat hanya tinggal memberitanda (v) setiap kali peristiwa itu muncul.

4. Observasi Sistematik
Observasi sistematik lebih rinci dari observasi terstruktur dalam kategori datayang diamati. Misalnya dalam pemberian penguatan, data dikategorikanmenjadi penguatan verbal dan nonverbal. Contoh lain yang sudah dikenalamat luas adalah kategori pengamatan dari Flanders yang membagi datapengamatan menjadi tiga kategori, yaitu pembicaraan guru, pembicaraansiswa, dan sepi atau senyap.
Jenis observasi juga dapat dilihat dari intensitas peran observer didalampelaksanaan observasi. McMillan & Schumecher (2000: 41), mengemukakan ketikaguru melakukan pengumpulan data dan mendokumentasikan temuan-temuanpenelitiannya secara sungguh-sungguh, kemudian ia menjelaskan dan menyimpulkan maka ia telah melakukan observasi partisipan.
Masing-masing jenis observasi tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan.Anda dapat mengkajinya secara cermat. Kerlinger (1986) mengingatkan bahwa masalah pokok dalam pengamatan perilaku adalah si pengamat sendiri karena iamerupakan bagian dari instrumen pengukur. Dalam pengamatan perilaku, pengamatmerupakan kekuatan penentu akan tetapi juga merupakan kelemahan penentu.Karena itu pengamat harus dapat mencerna informasi yang didapatkan dari observasikemudian membuat inferensi mengenai konstruk-konstruk. Coba Anda diskusikankembali bentuk-bentuk observasi di atas, kemudian kaji dari sudut kemampuan Anda dan kondisi sekolah tempat Anda mengajar untuk menemukan jenis observasi mana saja yang mungkin Anda pergunakan.

2. Tujuan / Sasaran Observasi
Milss (2000), menjelaskan bahwa observasi bertujuan mengamati aktivitassiswa, aspek-aspek fisik dari suatu situasi tertentu sebagai sumber informasi yangdapat memperkaya informasi-informasi yang lain. Observasi juga bertujuan untukmengumpulkan data yang diperlukan untuk menjawab masalah tertentu. Dalampenelitian formal, observasi bertujuan mengumpulkan data yang valid dan variable (sahih dan handal). Data ini kemudian akan diolah untuk menjawab berbagaipertanyaan penelitian atau menguji hipotesis. Dalam PTK, observasi terutamaditujukan untuk memantau proses dan dampak perbaikan yang direncanakan. Olehkarena itu, yang menjadi sasaran observasi dalam PTK adalah proses dan hasil ataudampak pembelajaran yang direncanakan sebagai tindakan perbaikan. Proses dandampak yang teramati diinterpretasikan, selanjutnya digunakan untuk menatakembali langkah-langkah perbaikan.

3. Prosedur Observasi
Pada dasarnya, prosedur atau langkah-langkah observasi terdiri dari tiga tahap, yaitu: pertemuan pendahuluan, observasi, dan diskusi balikan. Ketiga tahap ini sering disebut sebagai siklus pengamatan, yang populer dipakai dalam supervisi klinis, baik dalam pembimbing calon guru maupun dalam memberikan bantuan profesional bagi guru yang sudah bertugas. Siklus ini dapat digambarkan sebagai berikut. Mari kita kaji langkah-langkah tersebut satu persatu.

a. Pertemuan Pendahuluan
Pertemuan pendahuluan yang sering disebut sebagai pertemuan perencanaan dilakukan sebelum observasi berlangsung. Tujuan pertemuan ini adalah untuk menyepakati berbagai hal yang berkaitan dengan pelajaran yang akan diamati dan observasi yang akan dilakukan, sebagaimana yang telah Anda kaji pada prinsip pertama observasi. Langkah-langkah dan konteks pembelajaran, focus observasi, kriteria observasi, lama pengamatan, cara pengamatan, dan sebagainya dapat disepakati pada pertemuan pendahuluan ini. Fokus observasi misalnya siswa yang memberi respon secara sukarela, siswa yang mendapat penguatan, atau jenis pertanyaan yang diajukan oleh guru, sedangkan contoh kriteria observasi adalah: peningkatan sumber belajar yang dipakai siswa, peningkatan jumlah pertanyaan yang diajukan siswa, peningkatan rasa puas pada diri siswa, dan peningkatan jumlah siswa yang menjawab dengan benar.

b. Pelaksanaan Observasi
Sesuai dengan kesepakatan pada pertemuan pendahuluan, observasi dilakukan terhadap proses dan hasil tindakan perbaikan, yang tentu saja terfokus pada prilaku mengajar guru, perilaku belajar siswa, dan interaksi antara guru dansiswa. Pengamat merekam/menginterpretasikan data sesuai dengan kesepakatandan berusaha menciptakan suasana yang mendukung berlangsungnya proses perbaikan.



c. Diskusi Balikan
Sesuai dengan prinsip pemberian balikan, pertemuan balikan dilakukan segera setelah tindakan perbaikan yang diamati berakhir. Makin cepat pertemuan ini dilakukan makin baik, dan sebaiknya diusahakan agar pertemuan ini tidak ditunda lebih dari 24 jam. Dalam pertemuan ini, guru dan pengamat berbagi informasi yang dikumpulkan selama pengamatan, mendiskusikan menginterpretasikan informasi tersebut, serta mengambil tindakan lebih lanjut jika diperlukan.

D.  Wawancara
Untuk memperoleh data yang diperlukan atau data pendukung PTK, selainmenggunakan observasi guru juga dapat melakukan wawancara, baik kepada siswa, rekan-rekan guru, staf sekolah lain atau mungkin kepada orang tua siswa. Secara sederhana, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Moleong, 1991).
Wawancara mungkin merupakan alat yang paling purba dan paling sering digunakan manusia untuk memperoleh informasi (Kerlinger, 1993). Wawancara memiliki sifat-sifat penting yang tidak dipunyai oleh tes-tes pada skala obyektif dan pengamatan behavioral. Apabila digunakan dengan menggunakan rencana yang tersusun baik, maka wawancara dapat menghasilkan banyak informasi yang bersifat fleksibel dan dapat diadaptasi untuk situasi-situasi individual, serta seringkali dipergunakan bilamana tidak ada metode lain yang dimungkinkan atau memadai.
Wawancara dapat dipergunakan untuk tiga maksud utama. Pertama,wawancara dapat dipergunakan sebagai alat eksplorasi untuk identifikasi varibel danrelasi, mengajukan hipotesis, dan memandu tahap-tahap lain di dalam penelitian.Kedua, wawancara dapat menjadi instrumen utama penelitian. Dalam hal inipertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk mengukur aspek-aspek yang ditelitidimasukkan ke dalam panduan wawancara dalam keadaan ini, pertanyaan-pertanyaan
harus dipandang sebagai butir-butir (item soal) dalam suatu instrumen penelitian, bukan sekedar sebagai sarana menghimpun informasi belaka. Ketiga, wawancara itudapat digunakan sebagai penopang atau pelengkap metode lain. Dalam keadaan ini wawancara dapat berfungsi untuk menggali lebih mendalam motivasi responden serta alasan-alasan responden memberikan jawaban dengan cara-cara tertentu.
Di dalam penelitian kualitatif, wawancara (interview) oleh banyakkepustakaan dikemukakan di dalam berbagai terminologi, misalnya disebut intensiveinterviewing, indepth interviewing, ataupun instructured interviewing, yang berarti suatu percakapan yang terarah dengan tujuan mengumpulkan atau memperkaya informasi atau bahan-bahan (data) yang mendetil (kaya atau padat), yang hasil akhirnya untuk digunakan untuk analisis kualitatif (Mantja, 1993; McMillan &Schumacher, 2001). Perbedaan dengan wawancara terstruktur yang bertujuan untuk memperoleh pilihan di antara berbagai alternatif jawaban terhadap pertanyaan yang ditampilkan dari sebuah topik atau situasi, adalah bahwa wawancara mendalam, mendetil atau intensif berupaya menemukan pengalaman-pengalaman informan atau responden dari topik tertentu atau situasi spesifik yang dikaji. Dalam pandangan Lofland and Lofland (1983), bahwa bagian terbesar dari data observasi peran serta pada dasarnya diperoleh melalui wawancara informal dan yang disempurnakan melalui observasi. Karena itu pengamatan peran serta dan wawancara mendalam merupakan teknik sentral dalam penelitian kualitatif. Oleh karena itu keduanya harus dipandang dari penekanan penggunaannya dengan memperhatikan saling keterkaitannya.



1. Bentuk-bentuk Wawancara
Ada beberapa bentuk wawancara yang sering dipergunakan di dalampengumpulan data penelitian. Patton (1987) mengemukakan beberapa bentuk wawancara, yaitu; (a) wawancara pembicaraan formal, (b) pendekatan dengan menggunakan petunjuk umum wawancara, dan (c) wawancara baku terbuka.
                                            
a. Wawancara pembicaraan informal
Ciri khusus dari wawancara jenis ini adalah dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bergantung pada pewawancara itu sendiri, atau tergantung dari spontanitasnya didalam mengajukan pertanyaan. Wawancara ini dilakukan secara alami, sehingga hubungan antara pewawancara dan yang diwawancarai terjadididalam suasana yang wajar atau tidak dirancang atau dipersiapkan secara khsusus. Dalam proses wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang disampaikan sebagaimana layaknya pembicaraan biasa yang dilakukan dalam pembicaraan sehari-hari. Bahkan mungkin ketika wawancara dilakukan orang yang diwawancarai tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa dirinya sedang diwawancarai. Meskipun situasi berlangsung secara wajar dan alami, namun pewawancara tetap melakukan aktivitas pokok sebagai pewawacara yaitu melakukan pencatatan atau perekaman data. Karena itu diperlukan keterampilan yang memadai dan spesifik baik di dalam mengajukan item-item pertanyaan maupun didalam menciptakan situasi yang wajar dan alami tersebut.

b. Pendekatan dengan menggunakan petunjuk umum wawancara
Jika wawancara pembicaraan informal tidak memerlukan panduan khusus dan spesifik tentang aspek-aspek yang ingin diwawancarai, berbeda dengan teknik pewawancara yang kedua ini justeru mempersyaratkan agar pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok-pokok wawancara harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh pewawancara sebelum wawancara dilakukan. Petunjuk umumwawancara tidak harus selalu dibuat secara rinci, akan tetapi cukup memuat garis-garis besar aspek yang ingin ditanyakan. Petunjuk yang didasarkan pada anggapan bahwa ada jawaban yang secara umum akan sama diberikan oleh para responden, tetapi yang jelas tidak ada perangkat pertanyaan baku yang disiapkan terlebih dahulu. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden. Karena itu urutan-urutan pertanyaan tidak bersifat kaku, termasuk bagian-bagian mana yang terlebih dahulu ditanyakan atau diletakkan pada akhir.

c. Wawancara baku terbuka
Wawancara baku terbuka adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku (Moleong, 1991: 136). Pada jenis wawancara ini, urutan pertanyaan, kata-kata yang dipergunakan didalam daftar pertanyaan, urutan penyajian disusun sama untuk semua responden yang diwawancarai. Tidak seperti bentuk pertama, kedua dan ketiga sebelumnya, pada bentuk ini,pewawancara tidak terlalu memiliki keluwesan mengadakan pertanyaanpertanyaan pendalaman. Maksud dari adanya pembatasan-pembatasan di dalam wawancara ini adalah untuk mengurangi terjadinya “kemencengan” (biasa). Jenis wawancara ini tepat dilakukan apabila pewawancara terdiri dari sejumlah orang dan yang diwawancarai cukup banyak jumlahnya, sehingga hasil-hasil atau data yang diperoleh tidak terlalu banyak perbedaan.
Khusus mengenai pedoman wawancara (Arikunto, 1998: 231) memaparkandua macam pedoman wawancara.
a. Pedoman wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar yang akan ditanyakan. Dalam keadaan ini sangat diperlukan kreativitas atau apresiasi pewawancara, bahkan hasil wawancara dengan jenis pedoman wawancara lebih banyak tergantung pada pewawancara. Itulah sebabnya Kerlinger (1993), mengingatkan bahwa satu di antara kesulitan dalam wawancara adalah pewawancaranya, karena dia merupakan bagian dari instrumen pengukur. Wawancara tak terstruktur tepat dilakukan pada keadaan-keadan berikut:
- Bila pewawancara berhubungan dengan orang-orang penting.
- Jika pewawancara ingin menanyakan sesuatu secara lebih mendalam lagi kepada seorang subyek tertentu.
- Apabila pewawancara menyelenggarakan kegiatan yang bersifat “penemuan” (discovery).
- Jika ia tertarik untuk mempersoalkan bagian-bagian tertentu yang tidak umum.
- Jika ia tertarik untuk mengadakan hubungan langsung dengan responden.
- Apabila ia tertarik untuk mengungkapkan motivasi, maksud, atau penjelasan dari responden.
- Apabila ia mau mencoba mengungkapkan pengertian suatu peristiwa,
situasi, atau keadaan tertentu.
b. Pedoman wawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara rinci sehingga peluang untuk mengadakan variasi atau improvisasi dalam pelaksanaan wawancara menjadi sangat terbatas.Panduan wawancara yang paling banyak dipergunakan menurut Arikunto(1998) adalah panduan wawancara “semi structured”. Dalam hal ini mulamula interviewer menanyakan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam untuk menggali keterangan-keterangan lebih lanjut.

Ketika  melaksanakan wawacara, boleh mengembangkan berbagaibentuk pertanyaan yang dapat mengungkapkan informasi atau data yang butuhkan. Ada beberapa jenis pertanyaan dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan pertanyaan yang lazim dipergunakan dalam wawancara.
a. Pertanyaan deskriptif (descriptive question), yaitu bentuk pertanyaan di mana pewawacara meminta responden untuk mendeskripsikan sesuatu. Misalnya, “Dapatkah Anda menceriterakan pertemuan yang baru Anda ikuti!”
b. Pertanyaan structural (structural question), adalah pertanyaan yang diarahkan untuk membantu peneliti bagaimana informan mengorganisasikan pengetahuannya. Misalnya: “Cara apa saja yang Anda gunakan untuk menyampaikan materi pelajaran?”. Atau, “Dapatkah Anda menjelaskan langkahlangkah yang ditempuh di dalam penerapan metode diskusi kelompok kecil?”
c. Pertanyaan pembeda atau mempertentangkan (contras question), adalah pertanyaan yang bertujuan untuk mengetahui makna sesuatu yang dikemukakan oleh informan terhadap berbagai terminologi di dalam bahasa penutur. Pertanyaan jenis ini menghendaki informan membedakan obyek dan peristiwa menurut pengalaman mereka, sehingga peneliti memperoleh wawasan dimensi makna yang digunakan informan untuk membedakannya. Pertanyaan ini misalnya: “Apakah perbedaan belajar anak cacat, anak normal dan anak luar biasa?” Contoh lain: “Apa perbedaan guru yang melaksanakan PTK dengan guru yang tidak melaksanakan PTK dilihat dari persiapan mengajar yang disusunnya?”
d. Pertanyaan bergiliran (asymetrical turn talking), di mana informan dan pewawacara bergiliran didalam berbicara. Dalam bentuk ini pertama pewawancara menguraikan semua pertanyaannya terlebih dahulu, kemudian informan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut atau mengungkapkan sebagian besar pengalaman-pengalamannya.
e. Perluasan daripada penyingkatan (expansion rather than abbreviation), di manapeneliti mendorong informan untuk memperluas (memperjelas) apa yang dikemukakannya untuk menghindari kurang rincinya topik yang diperoleh. Dalam proses wawancara ini peneliti sering mengingatkan informan agar tidak dilakukan secara singkat dan terburu-buru untuk mempercepat waktu penelitian.
f. Mengajukan pertanyaan bersahabat (asking friendly question). Selama proses wawancara antara peneliti dan informan berlangsung, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan didalam wawancara selalu diarahkan dalam rangka membangun hubungan yang akrab, saling menghargai dan penuh kehangatan (rapport), sehingga informan tidak lekas merasa jenuh apalagi merasa terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti.
g. Berhenti sejenak (pausing). Dalam kenyataan di lapangan seringkali peneliti merasa khawatir bilamana aspek-aspek yang telah dirancang untuk ditanyakan tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena terbatasnya waktu yang tersedia. Akhirnya tanpa disadari peneliti terus mengejar informan dengan pertanyaanpertanyaan sehingga suasana wawancara menjadi kurang kondusif. Sebaiknya pewawancara harus berhenti beberapa saat agar suasana keakraban dan rapportyang telah terbina terpelihara dengan baik.

2.       Melaksanakan Wawancara
Di dalam pengumpulan data melalui wawancara, ada dua kegiatan yang sangat mendasar dan saling terkait, yaitu mengembangkan hubungan baik (rapport) dan mengejar perolehan informasi. Keduanya penting dan menuntut perhatian khusus peneliti. Dalam pengumpulan data, jangan sampai terjadi kegiatan yang satu mengorbankan kegiatan aspek lain. Misalnya, karena peneliti khawatir data yang akan dikumpulkan tidak lengkap, maka ia mengabaikan aspek-aspek yang berkenaan dengan pembinaan hubungan yang baik dengan informan dengan maksud agar waktu yang dipergunakan wawancara dapat dipergunakan secara efektif. Sebaliknya juga tidak boleh terjadi, lantaran sangat menaruh perhatian didalam pembinaan hubunganyang harmonis dengan informan, data yang dikumpulkan menjadi sangat sedikit dan tidak lengkap, karena waktu yang tersedia lebih banyak untuk melakukan sesuatu yang diarahkan untuk menciptakan hubungan baik tersebut. Oleh sebab itu secara garis besarnya ada tiga kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan wawancara, yaitu: (1) memulai wawancara, (2) mengajukan pertanyaan pokok sekaligus perekaman data, dan (3) mengakhiri wawancara.

a. Memulai wawancara
Jika Anda akan melakukan wawancara, sebaiknya terlebih dahulu Andameluangkan waktu sejenak untuk mengkaji kembali pedoman atau panduan wawancara yang telah dipersiapkan. Kegiatan ini bertujuan agar ketika wawancara telah mulai Anda laksanakan, Anda dapat menanyakan butir-butir pertanyaan dengan lancar tanpa kelancaran wawancara yang Anda lakukan. Bahkan jika panduan wawacara sudah Anda persiapkan dengan baik dan Anda telah memahami garis-garis besar pertanyaan dengan baik, Anda tidak harus membaca kembali panduan tersebut ketika mengajuan pertanyaan sehingga suasana wawancara akan terasa lebih rileks. Hal lain yang perlu Anda perhatikan kembali adalah kesiapan alat-alat yang akandipergunakan didalam mendukung kelancaran wawancara, seperti buku catatan, alatalat tulis, alat perekam data lainnya jika hal itu diperlukan. Kesiapan seperti ini nampaknya sederhana, akan tetapi akan sangat mengganggu bilamana peralatan tersebut tidak tersedia, sementara Anda membutuhkannya ketika wawancara telahberlangsung.
Ketika mengawali wawancara, hal penting yang Anda lakukan adalahmembina hubungan baik, saling menghargai dan saling percaya, sebagaimana sekilas telah kita bahas sebelumnya. Rapport tidak harus diartikan sebagai hubungan yang sangat rapat. Baik peneliti maupun informan adalah partisipan penelitian yang harus memiliki rasa saling percaya yang besar agar terjadi arus informasi yang lebih lancer dalam proses pengumpulan data. Pada tahap awal wawancara ini Anda dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong terciptanya keakraban, keterbukaan dan suasana yang tidak formal. Jika hal ini telah Anda lakukan, kemudian Anda melihat bahwa suasana telah mendukung untuk dimulainyawawancara, Anda dapat memulainya dari pertanyaan-pertanyaan yang sederhana.

b. Mengajukan pertanyaan
Mungkin di antara Anda ada yang pernah terlibat didalam melakukanwawancara. Pengalaman Anda didalam membina hubungan baik dengan informan, cara-cara Anda mengajukan pertanyaan dan sikap Anda didalam mendengar dan memberikan respon kembali terhadap jawaban informan menjadi hal sangat berarti untuk mendukung kelancaran wawancara. Dalam kaitan dengan butir pertanyaan yang diajukan, Kerlinger (1993):
a. Apakah pertanyaan yang akan Anda ajukan berkaitan dengan masalah penelitian
dan sasaran-sasaran penelitian? Selain pertanyaan-pertanyaan yang diajukan diarahkan untuk memperoleh informasi faktual, semua butir di dalam panduan wawancara Anda harus mempunyai fungsi tertentu dalam masalah penelitiannya. Hal ini juga berarti bahwa semua butir pertanyaan yang terdapat di dalam panduan wawancara Anda adalah untuk menggali informasi yang dapat dipergunakan untuk menjawab masalah penelitian dan atau menguji hipotesis.
b.Tepatkah tipe pertanyaan yang akan Anda ajukan? Jika Anda menggunakan bentuk-bentuk pertanyaan terbuka, mungkin Anda akan mendapatkan informasi tentang sikap, perilaku, atau tentang pandangan informan Anda tentang sesuatu secara lebih rinci. Sebaliknya informasi-informasi lain mungkin dapat diperoleh dengan lebih cepat dan efisien bila Anda menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup. Sebagai contoh, bilamana informan Anda minta untuk mengungkapkan atau pilihan sesuatu yang lebih disukai di antara dua alternatif atau lebih, sedangkan alternatif itu dapat diungkapkan secara lugas, maka bentuk pertanyaan-pertanyaan terbuka cenderung tidak tepat bahkan mungkin dinilai terlalu boros.
c. Apakah butir pertanyaan jelas dan tidak mengundang penafsiran ganda? Suatu pertanyaan atau butir pertanyaan yang ambigu atau ganda adalah butir pertanyaan yang tidak mengundang penafsiran yang berlainan serta jawaban yang berbedabeda dari penafsiran yang majemuk tersebut. Ada beberapa kaidah didalammenyusun pertanyaan untuk menghindari ambiguitas. Pertama, kita harus menghindari pertanyaan yang memuat lebih dari satu gagasan yang dapat direaksi oleh responden. Pertanyaan seperti; “Apakah Anda yakin bahwa tujuan pembelajaran yang Anda rumuskan sudah cukup baik jika dikaji dari dimensi peserta didik dan dikaji dari tujuan institusional sekolah Anda?” Contoh tersebut adalah ambigius, karena informan ditanya sekaligus tentang tujuan pembelajaran dan tujuan institusional sekaligus dalam satu pertanyaan. Kedua, hindari katakata atau ungkapan yang ambigu, misalnya “Bagaimana pendapat dan saran Anda tentang butir-butir soal tes ini?” Atau “Bagaimana pandangan Anda tentang disiplin siswa jika dikaji dari peran Anda sebagai guru dan sebagai orang tua?” Perlu juga diperhatikan bahwa mungkin pada saat tertentu kata-kata ambigu diperlukan bilamana Anda sengaja bermaksud memancing kerangka pikir yang berbeda dari para informan.
d. Apakah butir pertanyaan yang Anda rumuskan menggiring informan untuk memberikan alternatif jawaban tertentu? Pertanyaan-pertanyaan yang sengajamenggiring informan untuk memberikan jawaban tertentu yang Anda inginkan,hal itu merupakan ancaman terhadap validitas wawancara Anda. Contoh:“Apakah Anda telah membaca catatan-catatan yang saya tulis?” Atau “Apakah Anda telah menyusun langkah-langkah kegiatan sesuai dengan prosedur yangsudah kita bahas?” Mungkin Anda akan mendapatkan sebagian besar informanAnda menjawab “Ya” yang kemungkinan besar tidak proporsional, karenapertanyaan tersebut menyiratkan tidak baik jika informan belum membacacatatan yang ia buat seperti contoh pertanyaan pertama, atau tidak menyusunlangkah-langkah kegiatan sesuai prosedur yang telah dibahas bersama sepertipada contoh pertanyaan kedua.
e. Apakah pertanyaan yang Anda susun menuntut pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki oleh responden? Untuk menjaga agar tidak ada butir pertanyaanyang tidak valid, karena kurangnya pengetahuan informan tentang masalah yangditanyakan, maka akan lebih baik bilamana pewawancara menggunakanpertanyaan-pertanyaan saringan. Misalnya ketika informan bermaksudmenanyakan pendapat informan tentang Peraturan Pemerintah berkenaan denganStandar Nasional Pendidikan, akan lebih baik jika diajukan pertanyaan apakahinforman mengetahui tentang peraturan pemerintah dimaksud. Ada kemungkinanpewawancara menjelaskan terlebih dahulu secara singkat tentang hal yangditanyakan tersebut, baru kemudian menanyakan pendapat responden?
f. Apakah pertanyaan yang Anda susun menuntut hal-hal yang bersifat pribadi dan peka sehingga informan Anda menolak menjawabnya? Jika pertanyaanmenyentuh hal-hal tersebut, maka Anda harus lebih selektif dan berhati-hati.Pertanyaan-pertanyaan tentang penghasilan atau hal-hal lain yang bersifat pribadihendaknya diletakkan pada bagian belakang dalam wawancara, yaitu setelahtercapainya hubungan baik dan keakraban (rapport) antara pewawancara daninforman.
g. Apakah pertanyaan yang Anda ajukan menyiratkan hal-hal yang dianggap baik atau buruk oleh masyarakat? Pada umumnya orang-orang cenderungmemberikan jawaban sesuai dengan yang dipandang baik oleh umum, jawabanjawabanyang menunjukkan atau menyiratkan kesetujuan pada tindakan-tindakanatau ikhwal yang dipandang baik. Misalnya kita menanyakan kepada seseorangmengenai perasaannya terhadap anak-anak terlantar. Setiap orang diharapkanmemiliki simpati terhadap anak-anak terlantar. Jika kita tidak berhati-hati kitahanya akan mendapatkan jawaban stereotip atau klise tentang perasaannyaterhadap anak-anak terlantar tersebut.

c. Menutup wawancara
Jika wawancara telah selesai Anda lakukan, Anda harus menahan diribeberapa saat untuk tidak meninggalkan informan. Hubungan akrab, saling percaya yang telah Anda bina sejak awal dilakukan wawancara, hendaknya dapat Anda pertahankan sampai wawancara benar-benar berakhir. Informan Anda harus merasakan kepuasan yang Anda rasakan. Jika Anda merasa ada bagian-bagian tertentu dari pertanyaan Anda belum dijawab secara tuntas, tidak selayaknya Anda menunjukkan sikap ketidakpuasan Anda dihadapan informan, karena bilamana Anda telah membina hubungan baik, Anda dapat meminta kesediaan informan untuk memberikan informasi melalui wawancara selanjutnya. Ucapkan terima kasih dengan sikap tulus dan hangat bilamana informasi yang diberikan informan Anda telahdirasa cukup. Kemukakan secara terbuka bahwa informasi yang disampaikannya benar-benar bermakna bagi penelitian yang Anda lakukan


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kerlinger (1993) mengemukakan bahwa pemahaman terhadap jenis data dalam penelitian akan mengarahkan seorang peneliti untuk memilih instrumen yang cocok dengan data yang diinginkannya tersebut. Menurut jenisnya data dalam penelitian dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu data nominal, data ordinal, data interval, dan data ratio
Teknik pengumpulan data utama yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas adalah teknik pengamatan atau observasi, baik pengamatan sekilas maupun pengamatan terlibat. Pengumpulan data dapat juga dilakukan melalui teknik wawancara, baik wawancara biasa, wawancara terstruktur, amupun wawancara mendalam. Selain itu, penelitian juga menggunakan teknik assessment:baik tes subjektef (tes buatan peneliti dan guru) maupun tes objektif.

B.     Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada teman-teman mahasiswa semua di mulai dari sekarang agar bisa lebih memahami mengenai pengumpulan data dalam PTK. Sehingga kelak kita dapat terampil menerapkan ilmu yang dipelajari dalam membuat PTK yang berkualitas.


DAFTAR PUSTAKA

Aunurrahman, dkk. 2009. Penelitian Pendidikan SD 4 SKS. Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Iskandar. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Ciputat. Gaung Persada
http://sdi-tellobaru.blogspot.com/2011/02/analisis-data-dalam-ptk.html diakses pada tanggal 4 Maret 2015 pukul 08.40 diakses pada tanggal 4 Maret 2015 pukul 08.40