Minggu, 19 November 2017

Analisis Data Melalui Hasil Tes

Bismillahhirrohmanirrohim...Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Analisis Data Melalui Hasil Tes

Analisis adalah suatu kegiatan untuk mencermati setiap langkah yang dibuat, mulai dari tahap persiapan, proses, sampai dengan hasil pekerjaan atau pembelajaran, dalam arti apakah kegiatan beserta langkah-langkahnya sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Demikian juga halnya dengan analisis PTK terhadap kegiatan pembelajaran, analisis dilakukan untuk memperkirakan apakah semua aspek pembelajaran yang terlibat didalamnya sudah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan pertimbangan bahwa pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes dan non-tes, maka uraian tentang analisis data pun dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu analisis data hasil tes dan analisis data hasil non-tes. Tetapi di dalam artikel ini saya akan membahas mengenai analisis data melalui hasil tes saja.

Dalam proses analisis ini ditempuh tahap pengolahan, penafsiran, dan pelaporan hasil analisis beserta tahap-tahap lainnya. Namun, dalam realitasnya seringkali tahap-tahap ini tidak tuntas dilakukan. Peneliti (guru) cenderung hanya mengumpulkan data, menskor, dan mengadministrasikannya. Tindak lanjut dari data yang diperoleh ini tidak dilakukan. Setelah data terkumpul, data tersebut harus diolah, ditafsirkan, dan baru kemudian dilaporkan. Jadi, pengolahan data penting dilakukan, karena data yang terkumpul melalui berbagai alat pengumpul data (instrumen) masih berupa data mentah.

Analisis data melalui hasil tes bisa diurutkan dari teknik penyekalaan, penormaan, pensetaraan, batas-batas atau kriteria kelulusan, penyajian data, analisis tendensi sentral dan kemudian analisis variabilitas. Untuk melengkapi proses pengolahan data tes hasil belajar, akan dibahas pula penggunaan hasil penilaian, seperti penentuan lulustidak lulus, penentuan kelas perbaikan-pengayaan, atau bahkan penentuan apakah program pengajaran tertentu perlu diteruskan, direvisi, atau dibatalkan.
1.   Teknik Penyekalaan
Jika kita mendengar kata skala, yang terbayangkan dalam benak kita ialah  adanya jarak antar suatu obyek (titik) yang sama atau lajur-lajur yang dipergunakan untuk menentukan tingkatan atau banyaknya sesuatu (misalnya, rentang skala gaji/upah) atau perbandingan ukuran besar (misalnya, dalam kasus skala pada peta).
Skala adalah rentang skor atau data yang dibuat penyelenggara tes (tester) sebagai ukuran ke posisi mana peserta tes (testee atau siswa) ditempatkan sesuai dengan hasil pekerjaannya. Misalnya, skala pada Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa. Penyekalaan ini bersifat relatif dan subyektif, karena ditentukan oleh tester dan dapat berubah sesuai dengan sifat obyek yang dinilai.
Dalam pengukuran kependidikan dan pembelajaran masalah skala ini sebenarnya masih menjadi perdebatan banyak pakar. Contohnya, apakah angka nol (0) bersifat mutlak? Jika kita memberikan skor 0 (nol) atas seseorang, apakah berarti orang (siswa) yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan atau ketrampilan sama sekali? Barangkali, kalau kita maksudkan bahwa 0 (nol) dalam pengertian skor mentah, pengertian 0 (nol) cukup jelas, karena dikenakan kepada sejumlah soal yang diujikan. Dalam kaitan ini, 0 (nol) berarti bahwa dari sejumlah soal yang diujikan (misalnya, 10 soal) tidak ada satu soal pun yang dapat dijawab secara benar (salah semua). Namun, jika skala tersebut diimplementasikan terhadap jarak skor (nilai) yang diberikan, maka ketidakjelasan akan kembali dihadapi. Pertanyaannya adalah, apakah jarak antara skor 5 (lima) dan 6 (enam) sama dengan 6 dan 7, apakah sama dengan 8 dan 9, atau 9 dan 10? Pertanyaan ini berlaku pula terhadap skala IPK mahasiswa yang ditetapkan, misalnya seperti berikut.
Tabel 9.1
Penetapan Skala Penilaian IPK (dalam bentuk Huruf)


Contoh lainnya dapat pula dilihat dari penetapan kriteria kelulusan suatu mata kuliah, seperti berikut.

Tabel 9.2
Penetapan Skala Penilaian Kelulusan Mata Kuliah

Jika kita mengamati skala dalam tabel 9.1 maupun tabel 9.2, maka secara jujur kita mengatakan bahwa angka atau skor tersebut tidak lebih dari sekedar “permainan judi” dari para pelakunya (pengajar dan peserta ajar) yang amat misteri, karena di lain tempat mungkin rentang skalanya tidak sama. Misalnya, untuk nilai huruf A dibedakan A dan A-, untuk B ada B+, B, dan B-, dan seterusnya.

Padahal skala yang ditentukan tersebut kemudian merupakan dasar untuk menentukan nasib seseorang. Skala yang dipergunakan amat bervariasi. Skala tersebut akan sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang paling kritis adalah antara angka yang mendekati keputusan, apakah seseorang layak mendapat E atau D, D atau C, C atau B, serta B atau A? Misalnya, seseorang mendapat skor 69,20; apakah akan diberikan nilai B ataukah tetap C? Seseorang yang mendapatkan skor 79 apakah akan tetap mendapat nilai B (sama dengan seseorang yang mendapat skor 70) ataukah akan mendapatkan nilai A? Disinilah tampak, betapa skala tersebut pada kasus-kasus tertentu sangat dekat tetapi kasus lainnya menjadi sangat jauh, karena relativitas faktor penafsiran.

Secara umum, dalam pengukuran terdapat empat macam klasifikasi skala atau data yang biasa digunakan analisis hasil tes. Pertama, skala atau data Nominal. Kedua, skala atau data Ordinal. Ketiga, skala atau data Interval. Keempat, skala atau data Rasio.

Skala atau data Nominal tidak memiliki karakteristik kuantitatif. Skala ini hanya merupakan lambang semata (numeral; bukan number). Misalnya, nomor kendaraan bermotor, nomor rumah, nomor telepon, nomor pemain, nomor urut siswa dalam daftar hadir, dll.

Skala atau data Ordinal sudah mempunyai pengertian tinggi rendah sesuatu (bersifat kontinum). Misalnya, pemberian rangking atau peringkat nilai rapor, predikat kejuaraan (juara pertama, kedua, ketiga, dst.), atau predikat siswa teladan (teladan I, II, III, dst.). Peringkat I maksudnya jelas lebih tinggi daripada peringkat II, peringkat II lebih tinggi daripada peringkat III, dan seterusnya. Namun dalam skala ordinal ini, jarak antara satu peringkat dengan peringkat lainnya tidak sama. Bisa jadi peringkat I memperoleh nilai rata-rata 9,00, peringkat II = 8,52, tetapi peringkat III = 7,11. Jadi, jarak satu dengan lainnya tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu kelipatan (dikali/dibagi), ditambah, atau dikurang.

Skala atau data Interval adalah skala yang sudah mempunyai makna hitung (kuantitatif). Skala ini mempersyaratkan satuan atau unit pengukuran harus sama dan teruji, seperti derajat, cm, kg, dll. Seorang siswa yang tingginya 167 cm dapat dikatakan lebih tinggi 2 cm daripada siswa lain yang tingginya 165 cm. Begitu pula dengan ukuran berat badan. Orang yang beratnya 100 kg sama dengan dua kali berat orang lain yang berbobot 50 kg. Orang yang mempunyai suhu badan 38 derajat lebih panas 1 derajat daripada orang lain yang bersuhu badan 37 derajat.

Skala atau data Rasio mempunyai ciri-ciri skala interval dan sudah mempunyai 0 (nol) mutlak. Misalnya, 0 (nol) dalam skala Termometer Calvin berarti sudah tidak ada panas lagi (molekul molekul sudah tidak bergerak lagi). Nol berarti “tidak ada sama sekali”. Jika ketidakhadiran siswa dalam satu minggu sama dengan 0 (nol) persen, itu berarti bahwa selama satu minggu semua siswa hadir di sekolah.

Persoalan pengukuran kependidikan atau pembelajaran adalah karena kita tidak mempunyai unit satuan ukuran yang tetap atau baku (seperti kg, derajat, yard, dll.). Persoalan ini dapat dilihat dari beragamnya standar pengukuran antar-guru antar-mata pelajaran, antar-sekolah, antar-daerah, apalagi antar-negara. Misalnya, angka 7 (tujuh) sering lebih bermakna sebagai lambang yang mempunyai berbagai interpretasi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab berbedanya penafsiran masyarakat. Pengaruhnya bahkan terkadang sangat merugikan. Contohnya, dalam penerimaan karyawan, ada instansi yang menetapkan syarat IPK 3,00 dari suatu perguruan tinggi, tetapi hanya 2,75 untuk perguruan tinggi lainnya. Bahkan ada lembaga yang sama sekali tidak mau menerima lulusan suatu perguruan tinggi karena tidak percaya terhadap sistem penilaian (termasuk penskalaan) di perguruan tinggi tersebut. Kasus penerimaan siswa baru berdasarkan hasil ujian nasional juga merupakan contoh penerapan ilusi skala penilaian.

2.  Skor atau Data Mentah
Skor atau data mentah adalah angka yang diberikan berdasarkan hasil penyelesaian soal-soal dalam suatu kegiatan tes. Untuk setiap jawaban benar lazimnya diberikan skor tertentu. Untuk soal-soal berbentuk obyektif, seperti pilihan ganda, biasanya diberikan skor 1 (satu) untuk setiap jawaban benar, sedangkan jawaban yang salah diberikan skor 0 (nol). Untuk soal-soal esai biasanya skor setiap butir tidak sama, karena harus mempertimbangkan tingkat kompleksitas masingmasing jawaban yang dituntut. Pada prinsipnya, semakin mudah suatu soal, maka bobot skoringnya makin rendah, sebaliknya semakin tinggi tingkat kesukaran soalnya makin tinggi bobot skoring yang diberikan. Misalnya, suatu perangkat tes yang terdiri atas 20 butir soal pilihan ganda dan 5 butir soal esai menghasilkan skor total 32, maka perincian bobotnya dapat ditetapkan sebagai berikut.

Tabel 9.3
Contoh Pembobotan Soal

Jika dikonversikan ke dalam rentang skala 0-10 (simbol “n”), maka pelaksana tes (tester) atau guru dapat menggunakan formula sebagaimana diterapkan pada bagian berikut.
Konversi selengkapnya dari skor atau data mentah ke dalam skor jadi (n) bagi setiap peserta tes menurut skala 0-10 dapat dicontohkan sebagaimana tercantum pada tabel 9.9.

Tabel 9.4
Konversi Skor atau Data Mentah (Hasil Tes) ke Nilai Berskala 0-10
(lihat tabel 9.3)

Perlu pula dikemukakan bahwa taraf kesukaran dari setiap soal untuk tes yang berbeda sangat bervariasi. Oleh karena itu skor mentah pada tes yang satu dengan tes yang lain tidak dapat dijadikan patokan ukuran taraf kemampuan yang sama.

3. Persentase Penguasaan Bahan
Penguasaan bahan atau disebut pula “daya serap” sering dilambangkan dengan persentase (%). Dalam suatu tes yang penskorannya menggunakan skala 0-10, seorang siswa yang memperoleh skor 7 (tujuh) dapat dikonversikan sebagai 70 persen telah menguasai bahan yang diujikan. Taraf penguasaan bahan ini ditetapkan sedemikian rupa, sehingga ada batas minimum penguasaan sebagai batas kelulusan (keberhasilan), atau sering pula disebut dengan istilah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) atau Standar Ketuntasan Belajar Mengajar (SKBM).
Kelemahan pokoknya terletak pada sifatnya yang “mutlak”. Pernyataan tingkat kemampuan seseorang dalam bentuk persentase pada hakikat menjadi tidak lebih sebagai suatu ilusi atau pernyataan artifisial, dalam arti bahwa tidak mungkin kita dapat menentukan penguasaan bahan seseorang sekian persen dari keseluruhan pengetahuan dalam mata pelajaran tertentu.

4. Penormaan
Suatu ketika penulis mengajukan pertanyaan kepada sejumlah guru dalam kegiatan perkuliahan, “apa arti angka 8 dalam suatu penyelenggaraan tes atau ulangan?”, ternyata hampir semuanya tidak dapat menjelaskan dengan tepat jawabannya. Hal yang sama juga terjadi pada pertanyaan, “apa arti rata-rata kelas sama dengan 7,5 yang diberikan dalam rapor siswa?”. Gambaran ini menunjukkan bahwa kelemahan dalam pengukuran dan penilaian tidak hanya terjadi pada saat persiapan, pembuatan alat evaluasi, dan pelaksanaannya, tetapi juga mungkin terjadi pada saat pengolahan data dan penafsiran hasilnya.
Jika penafsiran hasil tes dikenakan pula kepada masyarakat konsumen (orangtua dan pemakai lulusan) kondisinya bisa bertambah rumit. Misalnya, terjadi kasus perguruan tinggi berperkara di pengadilan dengan suatu lembaga pemerintah, karena lembaga pemerintah tersebut menolak lamaran lulusannya. Pada kasus lain, ada orangtua yang mencela hasil pekerjaan anaknya yang memperoleh skor 6, padahal anaknyalah yang terbaik di kelasnya (karena siswa-siswa lainnya mendapat skor kurang dari 6).
Istilah yang biasanya dipergunakan dalam kaitan ini adalah “skor mentah (angka hasil tes) tidak mempunyai makna, kecuali kalau disertai data pendukung yang memungkinkan seseorang membuat interpretasi terhadap skor tersebut”. Dengan perkataan lain, skor mentah tidak berbunyi jika tidak dimaknai. Data pendukung dimaksud antara lain adalah data deskriptif tentang tes, seperti jumlah soal, waktu pengerjaan tes, reliabilitas tes, galat baku tes, validitas tes, interkorelasi antar-bagian tes, dan skor jabaran kalau yang dilaporkan bukan skor mentah.
Dari kasus-kasus tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kalangan pendidik.
·         pengolahan hasil tes atau pengukuran hendaknya dilakukan secara benar, sehingga dapat dibaca oleh orang lain (orangtua, masyarakat, lembaga pemakai lulusan) sebagai data yang akurat dan berlaku umum.
·         pengolahan hasil tes atau pengukuran hendaknya disertai dengan penafsiran yang dapat dipahami dan sesuai dengan teknik dan kriteria yang tepat.
·         pengolahan dan penafsiran haruslah obyektif dan bermakna setara dengan lembaga lain atau yang berlaku umum.

Untuk mengatasi masalah penafsiran hasil yang berbeda-beda maka penormaan hasil tes menjadi amat penting. Penormaan yang dilakukan terhadap kelompok disebut data normatif. Data normatif akan menentukan posisi dan kompetensi seseorang dalam kelompok norma. Misalnya, jika mempergunakan norma jenjang persentil (0-100) maka jika siswa memperoleh hasil tes sama dengan 80, pada tingkat sekolah ia berada pada persentil ke-68 untuk level sekolah, persentil ke-77 untuk norma daerah, dan persentil ke-85 untuk norma nasional. Di samping untuk penentuan posisi relatif seseorang di dalam norma kelompok, data normative juga berguna untuk membuat keputusan tentang siswa (testee) yang bersangkutan dan memahami kompetensi peserta tes terhadap dimensi yang diukur dalam tes.
Di Indonesia, norma-norma yang biasanya dipergunakan adalah norma nasional; norma daerah atau regional (propinsi atau kabupaten/kota dan norma sekolah.

Penyusunan norma nasional merupakan yang tersulit dilakukan, karena banyaknya aspek yang harus dipertimbangkan, seperti aspek geografis, demografis, budaya, manajemen pendidikan, dll. Penyusunan norma daerah relatif lebih mudah, apalagi norma sekolah, karena semakin sempit cakupannya berarti semakin sederhana aspek-aspek yang memerlukan pertimbangan.

5. Batas Kelulusan atau Ketuntasan Belajar
Banyak pelaksana tes (tester) yang mengambil keputusan tentang lulus-tidak lulus (berhasil-gagal) peserta tes dengan menggunakan batas kelulusan atau ketuntasan lazim, yakni nilai ≥ 6,00. Dengan batas seperti ini, maka jika ada sejumlah skor, katakanlah 0-45, skor berapakah yang diluluskan atau dinyatakan tuntas?
Untuk menjawab pertanyaan di atas tadi, tester lalu mengkonversikan terlebih dahulu skor 0-45 ke dalam skala nilai 0-10. Cara yang dipakai adalah menggunakan rumus sebagai berikut:
Sebagai contoh, jika seorang siswa memperoleh skor 28, maka nilai yang diperoleh siswa berarti:
Nilai 6,22 tersebut di atas selalu diputuskan lulus atau tuntas. Cara yang demikian menggambarkan bahwa tester tidak mempunyai patokan atau norma kelulusan. Penentuan kelulusan sebaiknya menggunakan Penilaian Acuan Patokan (PAP) atau Penilaian Acuan Normatif (PAN).
PAP diterapkan dengan menetapkan terlebih dahulu patokan kelulusan sebelum tes diadakan (berdasarkan kriteria tertentu). Batas lulus atau ketuntasan yang termasuk kelompok PAP adalah batas lulus atau ketuntasan purposif. PAN mengisyaratkan penggunaan nilai rata-rata dan simpangan baku (standar deviasi). Batas lulus atau ketuntasan yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. Batas lulus atau ketuntasan purposive
Batas lulus purposif tidak memerlukan rata-rata kelas atau simpangan baku. Namun sebelum hasil tes diketahui telah ditetapkan kriteria kelulusan yang akan dipakai. Misalnya, menggunakan batas ≥ 75%. Dalam kasus skor yang bergerak antara 0-45 (seperti contoh sebelumnya), maka peserta tes yang lulus adalah 75% dari skor total (45), yakni siswa-siswa yang memperoleh skor 33,75 s.d. 45. Skor yang berada di bawah 33,75 dinyatakan gagal (tidak lulus). Batas lulus purposif ini sangat erat kaitannya dengan kualitas kelulusan. Semakin tinggi kriteria kelulusan yang dipergunakan maka akan semakin tinggi pula kualitas hasil belajar yang dituntut.
b. Batas lulus atau ketuntasan ideal
Batas lulus atau ketuntasan ideal menggunakan rata-rata ideal dan simpangan baku ideal. Rata-rata ideal adalah “setengah dari skor total”. Misalnya, total skor = 45, maka rata-rata ideal = ½ x 45 atau 22,50. Simpangan baku (Standar Deviasi atau SD) ideal adalah “sepertiga dari rata-rata ideal”. Dengan demikian, jika rata-rata ideal = 45, maka simpangan baku ideal = ⅓ x 22,50 atau 7,50. Setelah rata-rata ideal dan simpangan baku ideal diketahui, maka batas lulus ideal ditetapkan dengan rumus seperti berikut:
Dari contoh skor sebelumnya, maka jika rata-rata ideal ( X ) = 22,5 dan SD ideal = 7,5; peserta tes yang dinyatakan lulus atau tuntas belajarnya adalah yang memperoleh skor minimal = 22,5 + (0,25 x 7,5), atau 24,4 (siswa yang memperoleh skor antara 24-45). Batas lulus atau ketuntasan ideal ini ditetapkan sebelum tes diadakan, dengan catatan total skor (skor maskimal) sudah diketahui atau ditentukan.
c. Batas lulus atau ketuntasan actual
Batas lulus atau ketuntasan aktual mempersyaratkan skor peserta tes telah tersedia (aktual) atau sudah diketahui. Misalnya, diperoleh data hasil tes dari 10 peserta (siswa) sebagai berikut: Ardy = 27, Anny = 16, Betty = 37, Beni = 26, Dina = 20, Dona = 19, Ester = 22, Ferdy = 33, Gunawan = 40, dan Soni = 29. Dengan menggunakan rumus yang sama dengan batas lulus ideal (X + 0,25 SD), maka batas lulus atau ketuntasan aktual dapat dicari (dengan contoh data di atas).

6. Penyajian Skor/Data
Skor yang diperoleh peserta tes (testee) dan belum diolah disebut skor mentah (perhatikan kembali uraian sebelumnya). Skor mentah ini perlu dianalisis, agar dapat dibaca dan bermakna bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Analisis skor sampai berbentuk suatu nilai yang digunakan bagi suatu keperluan dalam membuat pertimbangan dimulai dengan menyusun atau menyajikan skor tersebut, menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan, dan akhirnya memberikan suatu pertimbangan. Penyajian skor mentah dapat menggunakan tabel (daftar nilai) yang sudah tersusun (distribusi frekuensi) atau tabel data mentah dan/atau dapat pula menggunakan gambar-gambar visual berbentuk grafik.

7. Tendensi Sentral
Analisis cenderungan bergitna inituk melihat kemampuan peserta tes secara kelompok ataupun keditciukan seseorang terhadap kelornpoknya. Secara umum sebenarnya, kemanmuan peserta tes dapat digambarkan melalui bentuk kurva normal. Artinya. dalam suatu kelompok terdapat sub kelompok (pengelompokan) ke dalam: (1)sejumlah siswa sangat kurang-kurang-dan agak kurang; (2) sejumlah siswa kurang-sedang-dan manipu (kurang pintar- sedang-dan pintar); (3) atau sejumlah siswa yang agak pintar-pintar-dan pintar sekali.
Untuk menemukan tendensi sentral (kecenderungan) memusat ada tiga indikator yang lazim dipergunakan, yaitu: (1) rata-rata (mean), terutama berupa rata-rata hitung; (2) modus atau nilai yang paling sering muncul atau paling banyak frekuensinya; dan (3) median atau nilai yang posisinya berada di tengah-tengah rentangan sekelompok nilai.

8. Variabilitas
Analisis variabilitas atau keragaman skor digunakan untuk mengetahui “sebaran skor” dalam suatu kumpulan data hasil tes. Berdasarkan hasil analisis
 variabilitas, pelaksana tes (tester) dapat mengetahui, bagaimana skor tersebut menyebar. Analisis variabilitas ini penting, karena kalau hanya berdasarkan analisis kecenderungan (tendensi sentral), tidak diketahui, bagaimana sebaran skor diperoleh peserta tes. Beberapa ukuran keragaman atau variabilitas yakni rentang (range), simpangan baku atau standar deviasi dan varians.


DAFTAR RUJUKAN

M. Tajudin Nur. Penelitian Pendidikan SD Unit 9.


Note: Untuk bahan Analisis Data Hasil Non-Tesnya bisa dilihat pada postingan selanjutnya,,, see you :)




1 komentar:

  1. Do you realize there is a 12 word phrase you can communicate to your man... that will induce deep emotions of love and impulsive appeal for you deep within his chest?

    That's because deep inside these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's impulse to love, worship and protect you with all his heart...

    ====> 12 Words Will Trigger A Man's Desire Impulse

    This impulse is so hardwired into a man's mind that it will make him try better than ever before to build your relationship stronger.

    Matter-of-fact, triggering this influential impulse is absolutely essential to achieving the best possible relationship with your man that the instance you send your man a "Secret Signal"...

    ...You will soon find him expose his mind and heart for you in such a way he haven't experienced before and he'll see you as the only woman in the world who has ever truly fascinated him.

    BalasHapus