Bismillahhirrohmanirrohim...Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Analisis
Data Melalui Hasil Tes
Analisis
adalah suatu kegiatan untuk mencermati setiap langkah yang dibuat, mulai dari
tahap persiapan, proses, sampai dengan hasil pekerjaan atau pembelajaran, dalam
arti apakah kegiatan beserta langkah-langkahnya sudah sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai. Demikian juga halnya dengan analisis PTK terhadap kegiatan
pembelajaran, analisis dilakukan untuk memperkirakan apakah semua aspek
pembelajaran yang terlibat didalamnya sudah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan
pertimbangan bahwa pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes dan non-tes,
maka uraian tentang analisis data pun dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu
analisis data hasil tes dan analisis data hasil non-tes. Tetapi di dalam
artikel ini saya akan membahas mengenai analisis data melalui hasil tes saja.
Dalam
proses analisis ini ditempuh tahap pengolahan, penafsiran, dan pelaporan hasil
analisis beserta tahap-tahap lainnya. Namun, dalam realitasnya seringkali
tahap-tahap ini tidak tuntas dilakukan. Peneliti (guru) cenderung hanya
mengumpulkan data, menskor, dan mengadministrasikannya. Tindak lanjut dari data
yang diperoleh ini tidak dilakukan. Setelah data terkumpul, data tersebut harus
diolah, ditafsirkan, dan baru kemudian dilaporkan. Jadi, pengolahan data penting
dilakukan, karena data yang terkumpul melalui berbagai alat pengumpul data
(instrumen) masih berupa data mentah.
Analisis
data melalui hasil tes bisa diurutkan dari teknik penyekalaan, penormaan,
pensetaraan, batas-batas atau kriteria kelulusan, penyajian data, analisis
tendensi sentral dan kemudian analisis variabilitas. Untuk melengkapi proses
pengolahan data tes hasil belajar, akan dibahas pula penggunaan hasil
penilaian, seperti penentuan lulustidak lulus, penentuan kelas
perbaikan-pengayaan, atau bahkan penentuan apakah program pengajaran tertentu
perlu diteruskan, direvisi, atau dibatalkan.
1. Teknik
Penyekalaan
Jika kita mendengar kata
skala, yang terbayangkan dalam benak kita ialah adanya jarak antar suatu obyek (titik) yang
sama atau lajur-lajur yang dipergunakan untuk menentukan tingkatan atau
banyaknya sesuatu (misalnya, rentang skala gaji/upah) atau perbandingan ukuran
besar (misalnya, dalam kasus skala pada peta).
Skala adalah rentang
skor atau data yang dibuat penyelenggara tes (tester) sebagai ukuran ke posisi
mana peserta tes (testee atau siswa) ditempatkan sesuai dengan hasil
pekerjaannya. Misalnya, skala pada Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa.
Penyekalaan ini bersifat relatif dan subyektif, karena ditentukan oleh tester
dan dapat berubah sesuai dengan sifat obyek yang dinilai.
Dalam pengukuran
kependidikan dan pembelajaran masalah skala ini sebenarnya masih menjadi
perdebatan banyak pakar. Contohnya, apakah angka nol (0) bersifat mutlak? Jika
kita memberikan skor 0 (nol) atas seseorang, apakah berarti orang (siswa) yang
bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan atau ketrampilan sama sekali?
Barangkali, kalau kita maksudkan bahwa 0 (nol) dalam pengertian skor mentah,
pengertian 0 (nol) cukup jelas, karena dikenakan kepada sejumlah soal yang
diujikan. Dalam kaitan ini, 0 (nol) berarti bahwa dari sejumlah soal yang
diujikan (misalnya, 10 soal) tidak ada satu soal pun yang dapat dijawab secara
benar (salah semua). Namun, jika skala tersebut diimplementasikan terhadap
jarak skor (nilai) yang diberikan, maka ketidakjelasan akan kembali dihadapi.
Pertanyaannya adalah, apakah jarak antara skor 5 (lima) dan 6 (enam) sama
dengan 6 dan 7, apakah sama dengan 8 dan 9, atau 9 dan 10? Pertanyaan ini
berlaku pula terhadap skala IPK mahasiswa yang ditetapkan, misalnya seperti
berikut.
Tabel 9.1
Penetapan Skala
Penilaian IPK (dalam bentuk Huruf)
Contoh lainnya dapat pula dilihat dari penetapan
kriteria kelulusan suatu mata kuliah, seperti berikut.
Tabel 9.2
Penetapan Skala Penilaian Kelulusan Mata Kuliah
Jika
kita mengamati skala dalam tabel 9.1 maupun tabel 9.2, maka secara jujur kita mengatakan
bahwa angka atau skor tersebut tidak lebih dari sekedar “permainan judi” dari
para pelakunya (pengajar dan peserta ajar) yang amat misteri, karena di lain
tempat mungkin rentang skalanya tidak sama. Misalnya, untuk nilai huruf A dibedakan
A dan A-, untuk B ada B+, B, dan B-, dan seterusnya.
Padahal
skala yang ditentukan tersebut kemudian merupakan dasar untuk menentukan nasib
seseorang. Skala yang dipergunakan amat bervariasi. Skala tersebut akan sangat dipengaruhi
oleh berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang paling kritis adalah antara angka
yang mendekati keputusan, apakah seseorang layak mendapat E atau D, D atau C, C
atau B, serta B atau A? Misalnya, seseorang mendapat skor 69,20; apakah akan
diberikan nilai B ataukah tetap C? Seseorang yang mendapatkan skor 79 apakah
akan tetap mendapat nilai B (sama dengan seseorang yang mendapat skor 70) ataukah
akan mendapatkan nilai A? Disinilah tampak, betapa skala tersebut pada kasus-kasus
tertentu sangat dekat tetapi kasus lainnya menjadi sangat jauh, karena
relativitas faktor penafsiran.
Secara
umum, dalam pengukuran terdapat empat macam klasifikasi skala atau data yang
biasa digunakan analisis hasil tes. Pertama, skala atau data Nominal. Kedua,
skala atau data Ordinal. Ketiga, skala atau data Interval. Keempat,
skala atau data Rasio.
Skala
atau data Nominal tidak memiliki karakteristik kuantitatif. Skala ini hanya
merupakan lambang semata (numeral; bukan number). Misalnya, nomor
kendaraan bermotor, nomor rumah, nomor telepon, nomor pemain, nomor urut siswa
dalam daftar hadir, dll.
Skala
atau data Ordinal sudah mempunyai pengertian tinggi rendah sesuatu (bersifat
kontinum). Misalnya, pemberian rangking atau peringkat nilai rapor, predikat
kejuaraan (juara pertama, kedua, ketiga, dst.), atau predikat siswa teladan (teladan
I, II, III, dst.). Peringkat I maksudnya jelas lebih tinggi daripada peringkat
II, peringkat II lebih tinggi daripada peringkat III, dan seterusnya. Namun
dalam skala ordinal ini, jarak antara satu peringkat dengan peringkat lainnya
tidak sama. Bisa jadi peringkat I memperoleh nilai rata-rata 9,00, peringkat II
= 8,52, tetapi peringkat III = 7,11. Jadi, jarak satu dengan lainnya tidak
dapat ditafsirkan sebagai suatu kelipatan (dikali/dibagi), ditambah, atau
dikurang.
Skala
atau data Interval adalah skala yang sudah mempunyai makna hitung (kuantitatif).
Skala ini mempersyaratkan satuan atau unit pengukuran harus sama dan teruji,
seperti derajat, cm, kg, dll. Seorang siswa yang tingginya 167 cm dapat dikatakan
lebih tinggi 2 cm daripada siswa lain yang tingginya 165 cm. Begitu pula dengan
ukuran berat badan. Orang yang beratnya 100 kg sama dengan dua kali berat orang
lain yang berbobot 50 kg. Orang yang mempunyai suhu badan 38 derajat lebih panas
1 derajat daripada orang lain yang bersuhu badan 37 derajat.
Skala
atau data Rasio mempunyai ciri-ciri skala interval dan sudah mempunyai 0 (nol)
mutlak. Misalnya, 0 (nol) dalam skala Termometer Calvin berarti sudah tidak ada
panas lagi (molekul molekul sudah tidak bergerak lagi). Nol berarti “tidak ada sama
sekali”. Jika ketidakhadiran siswa dalam satu minggu sama dengan 0 (nol) persen,
itu berarti bahwa selama satu minggu semua siswa hadir di sekolah.
Persoalan
pengukuran kependidikan atau pembelajaran adalah karena kita tidak mempunyai
unit satuan ukuran yang tetap atau baku (seperti kg, derajat, yard, dll.). Persoalan
ini dapat dilihat dari beragamnya standar pengukuran antar-guru antar-mata
pelajaran, antar-sekolah, antar-daerah, apalagi antar-negara. Misalnya, angka 7
(tujuh) sering lebih bermakna sebagai lambang yang mempunyai berbagai interpretasi.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab berbedanya penafsiran masyarakat.
Pengaruhnya bahkan terkadang sangat merugikan. Contohnya, dalam penerimaan
karyawan, ada instansi yang menetapkan syarat IPK 3,00 dari suatu perguruan
tinggi, tetapi hanya 2,75 untuk perguruan tinggi lainnya. Bahkan ada lembaga
yang sama sekali tidak mau menerima lulusan suatu perguruan tinggi karena tidak
percaya terhadap sistem penilaian (termasuk penskalaan) di perguruan tinggi tersebut.
Kasus penerimaan siswa baru berdasarkan hasil ujian nasional juga merupakan
contoh penerapan ilusi skala penilaian.
2. Skor
atau Data Mentah
Skor atau data
mentah adalah angka yang diberikan berdasarkan hasil penyelesaian soal-soal dalam
suatu kegiatan tes. Untuk setiap jawaban benar lazimnya diberikan skor
tertentu. Untuk soal-soal berbentuk obyektif, seperti pilihan ganda, biasanya
diberikan skor 1 (satu) untuk setiap jawaban benar, sedangkan jawaban yang
salah diberikan skor 0 (nol). Untuk soal-soal esai biasanya skor setiap butir
tidak sama, karena harus mempertimbangkan tingkat kompleksitas masingmasing jawaban
yang dituntut. Pada prinsipnya, semakin mudah suatu soal, maka bobot skoringnya
makin rendah, sebaliknya semakin tinggi tingkat kesukaran soalnya makin tinggi
bobot skoring yang diberikan. Misalnya, suatu perangkat tes yang terdiri atas
20 butir soal pilihan ganda dan 5 butir soal esai menghasilkan skor total 32,
maka perincian bobotnya dapat ditetapkan sebagai berikut.
Tabel 9.3
Contoh
Pembobotan Soal
Jika dikonversikan ke dalam rentang skala 0-10
(simbol “n”), maka pelaksana tes (tester) atau guru dapat menggunakan formula
sebagaimana diterapkan pada bagian berikut.
Konversi
selengkapnya dari skor atau data mentah ke dalam skor jadi (n) bagi setiap
peserta tes menurut skala 0-10 dapat dicontohkan sebagaimana tercantum pada tabel
9.9.
Tabel 9.4
Konversi Skor
atau Data Mentah (Hasil Tes) ke Nilai Berskala 0-10
(lihat
tabel 9.3)
Perlu pula dikemukakan bahwa taraf kesukaran
dari setiap soal untuk tes yang berbeda sangat bervariasi. Oleh karena itu skor
mentah pada tes yang satu dengan tes yang lain tidak dapat dijadikan patokan
ukuran taraf kemampuan yang sama.
3. Persentase
Penguasaan Bahan
Penguasaan bahan
atau disebut pula “daya serap” sering dilambangkan dengan persentase (%). Dalam
suatu tes yang penskorannya menggunakan skala 0-10, seorang siswa yang
memperoleh skor 7 (tujuh) dapat dikonversikan sebagai 70 persen telah menguasai
bahan yang diujikan. Taraf penguasaan bahan ini ditetapkan sedemikian rupa,
sehingga ada batas minimum penguasaan sebagai batas kelulusan (keberhasilan),
atau sering pula disebut dengan istilah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) atau
Standar Ketuntasan Belajar Mengajar (SKBM).
Kelemahan
pokoknya terletak pada sifatnya yang “mutlak”. Pernyataan tingkat kemampuan
seseorang dalam bentuk persentase pada hakikat menjadi tidak lebih sebagai
suatu ilusi atau pernyataan artifisial, dalam arti bahwa tidak mungkin kita dapat
menentukan penguasaan bahan seseorang sekian persen dari keseluruhan pengetahuan
dalam mata pelajaran tertentu.
4. Penormaan
Suatu ketika
penulis mengajukan pertanyaan kepada sejumlah guru dalam kegiatan perkuliahan,
“apa arti angka 8 dalam suatu penyelenggaraan tes atau ulangan?”, ternyata
hampir semuanya tidak dapat menjelaskan dengan tepat jawabannya. Hal yang sama
juga terjadi pada pertanyaan, “apa arti rata-rata kelas sama dengan 7,5 yang
diberikan dalam rapor siswa?”. Gambaran ini menunjukkan bahwa kelemahan dalam
pengukuran dan penilaian tidak hanya terjadi pada saat persiapan, pembuatan
alat evaluasi, dan pelaksanaannya, tetapi juga mungkin terjadi pada saat
pengolahan data dan penafsiran hasilnya.
Jika penafsiran
hasil tes dikenakan pula kepada masyarakat konsumen (orangtua dan pemakai
lulusan) kondisinya bisa bertambah rumit. Misalnya, terjadi kasus perguruan
tinggi berperkara di pengadilan dengan suatu lembaga pemerintah, karena lembaga
pemerintah tersebut menolak lamaran lulusannya. Pada kasus lain, ada orangtua
yang mencela hasil pekerjaan anaknya yang memperoleh skor 6, padahal anaknyalah
yang terbaik di kelasnya (karena siswa-siswa lainnya mendapat skor kurang dari
6).
Istilah yang
biasanya dipergunakan dalam kaitan ini adalah “skor mentah (angka hasil tes)
tidak mempunyai makna, kecuali kalau disertai data pendukung yang memungkinkan
seseorang membuat interpretasi terhadap skor tersebut”. Dengan perkataan lain,
skor mentah tidak berbunyi jika tidak dimaknai. Data pendukung dimaksud antara
lain adalah data deskriptif tentang tes, seperti jumlah soal, waktu pengerjaan
tes, reliabilitas tes, galat baku tes, validitas tes, interkorelasi antar-bagian
tes, dan skor jabaran kalau yang dilaporkan bukan skor mentah.
Dari kasus-kasus
tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kalangan
pendidik.
·
pengolahan
hasil tes atau pengukuran hendaknya dilakukan secara benar, sehingga dapat
dibaca oleh orang lain (orangtua, masyarakat, lembaga pemakai lulusan) sebagai
data yang akurat dan berlaku umum.
·
pengolahan
hasil tes atau pengukuran hendaknya disertai dengan penafsiran yang dapat
dipahami dan sesuai dengan teknik dan kriteria yang tepat.
·
pengolahan
dan penafsiran haruslah obyektif dan bermakna setara dengan lembaga lain atau
yang berlaku umum.
Untuk mengatasi
masalah penafsiran hasil yang berbeda-beda maka penormaan hasil tes menjadi
amat penting. Penormaan yang dilakukan terhadap kelompok disebut data normatif.
Data normatif akan menentukan posisi dan kompetensi seseorang dalam kelompok
norma. Misalnya, jika mempergunakan norma jenjang persentil (0-100) maka jika
siswa memperoleh hasil tes sama dengan 80, pada tingkat sekolah ia berada pada
persentil ke-68 untuk level sekolah, persentil ke-77 untuk norma daerah, dan
persentil ke-85 untuk norma nasional. Di samping untuk penentuan posisi relatif
seseorang di dalam norma kelompok, data normative juga berguna untuk membuat
keputusan tentang siswa (testee) yang bersangkutan dan memahami kompetensi
peserta tes terhadap dimensi yang diukur dalam tes.
Di Indonesia, norma-norma yang biasanya
dipergunakan adalah norma
nasional; norma
daerah atau regional (propinsi atau kabupaten/kota dan norma
sekolah.
Penyusunan
norma nasional merupakan yang tersulit dilakukan, karena banyaknya aspek yang
harus dipertimbangkan, seperti aspek geografis, demografis, budaya, manajemen
pendidikan, dll. Penyusunan norma daerah relatif lebih mudah, apalagi norma
sekolah, karena semakin sempit cakupannya berarti semakin sederhana aspek-aspek
yang memerlukan pertimbangan.
5. Batas Kelulusan atau Ketuntasan
Belajar
Banyak pelaksana
tes (tester) yang mengambil keputusan tentang lulus-tidak lulus
(berhasil-gagal) peserta tes dengan menggunakan batas kelulusan atau ketuntasan
lazim, yakni nilai ≥ 6,00. Dengan batas seperti ini, maka jika ada sejumlah
skor, katakanlah 0-45, skor berapakah yang diluluskan atau dinyatakan tuntas?
Untuk menjawab
pertanyaan di atas tadi, tester lalu mengkonversikan terlebih dahulu skor 0-45
ke dalam skala nilai 0-10. Cara yang dipakai adalah menggunakan rumus sebagai
berikut:
Sebagai contoh, jika seorang siswa memperoleh
skor 28, maka nilai yang diperoleh siswa berarti:
Nilai 6,22
tersebut di atas selalu diputuskan lulus atau tuntas. Cara yang demikian
menggambarkan bahwa tester tidak mempunyai patokan atau norma kelulusan.
Penentuan kelulusan sebaiknya menggunakan Penilaian Acuan Patokan (PAP) atau Penilaian
Acuan Normatif (PAN).
PAP
diterapkan dengan menetapkan terlebih dahulu patokan kelulusan sebelum tes
diadakan (berdasarkan kriteria tertentu). Batas lulus atau ketuntasan yang
termasuk kelompok PAP adalah batas lulus atau ketuntasan purposif. PAN mengisyaratkan
penggunaan nilai rata-rata dan simpangan baku (standar deviasi). Batas lulus
atau ketuntasan yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
a. Batas
lulus atau ketuntasan purposive
Batas lulus purposif tidak memerlukan rata-rata
kelas atau simpangan baku. Namun sebelum hasil tes diketahui telah ditetapkan
kriteria kelulusan yang akan dipakai. Misalnya, menggunakan batas ≥ 75%. Dalam
kasus skor yang bergerak antara 0-45 (seperti contoh sebelumnya), maka peserta
tes yang lulus adalah 75% dari skor total (45), yakni siswa-siswa yang
memperoleh skor 33,75 s.d. 45. Skor yang berada di bawah 33,75 dinyatakan gagal
(tidak lulus). Batas lulus purposif ini sangat erat kaitannya dengan kualitas
kelulusan. Semakin tinggi kriteria kelulusan yang dipergunakan maka akan
semakin tinggi pula kualitas hasil belajar yang dituntut.
b. Batas lulus atau ketuntasan ideal
Batas lulus atau ketuntasan ideal menggunakan
rata-rata ideal dan simpangan baku ideal. Rata-rata ideal adalah “setengah dari
skor total”. Misalnya, total skor = 45, maka rata-rata ideal = ½ x 45 atau
22,50. Simpangan baku (Standar Deviasi atau SD) ideal adalah “sepertiga dari
rata-rata ideal”. Dengan demikian, jika rata-rata ideal = 45, maka simpangan
baku ideal = ⅓ x 22,50 atau 7,50. Setelah rata-rata ideal dan simpangan baku
ideal diketahui, maka batas lulus ideal ditetapkan dengan rumus seperti
berikut:
Dari contoh skor sebelumnya, maka jika rata-rata
ideal ( X ) = 22,5 dan SD ideal = 7,5; peserta tes yang dinyatakan lulus
atau tuntas belajarnya adalah yang memperoleh skor minimal = 22,5 + (0,25 x
7,5), atau 24,4 (siswa yang memperoleh skor antara 24-45). Batas lulus atau
ketuntasan ideal ini ditetapkan sebelum tes diadakan, dengan catatan total skor
(skor maskimal) sudah diketahui atau ditentukan.
c. Batas lulus atau ketuntasan actual
Batas lulus atau ketuntasan aktual
mempersyaratkan skor peserta tes telah tersedia (aktual) atau sudah diketahui.
Misalnya, diperoleh data hasil tes dari 10 peserta (siswa) sebagai berikut:
Ardy = 27, Anny = 16, Betty = 37, Beni = 26, Dina = 20, Dona = 19, Ester = 22,
Ferdy = 33, Gunawan = 40, dan Soni = 29. Dengan menggunakan rumus yang sama
dengan batas lulus ideal (X + 0,25 SD), maka batas lulus atau ketuntasan
aktual dapat dicari (dengan contoh data di atas).
6. Penyajian Skor/Data
Skor yang diperoleh peserta tes (testee) dan
belum diolah disebut skor mentah (perhatikan kembali uraian sebelumnya). Skor
mentah ini perlu dianalisis, agar dapat dibaca dan bermakna bagi pihak-pihak
yang memerlukannya. Analisis skor sampai berbentuk suatu nilai yang digunakan
bagi suatu keperluan dalam membuat pertimbangan dimulai dengan menyusun atau
menyajikan skor tersebut, menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan, dan akhirnya
memberikan suatu pertimbangan. Penyajian skor mentah dapat menggunakan tabel
(daftar nilai) yang sudah tersusun (distribusi frekuensi) atau tabel data
mentah dan/atau dapat pula menggunakan gambar-gambar visual berbentuk grafik.
7. Tendensi Sentral
Analisis cenderungan
bergitna inituk melihat kemampuan peserta tes secara kelompok ataupun
keditciukan seseorang terhadap kelornpoknya. Secara umum sebenarnya, kemanmuan
peserta tes dapat digambarkan melalui bentuk kurva normal. Artinya. dalam suatu
kelompok terdapat sub kelompok (pengelompokan) ke dalam: (1)sejumlah siswa
sangat kurang-kurang-dan agak kurang; (2) sejumlah siswa kurang-sedang-dan
manipu (kurang pintar- sedang-dan pintar); (3) atau sejumlah siswa yang agak pintar-pintar-dan
pintar sekali.
Untuk
menemukan tendensi sentral (kecenderungan) memusat ada tiga indikator yang
lazim dipergunakan, yaitu: (1) rata-rata (mean), terutama berupa rata-rata hitung;
(2) modus atau nilai yang paling sering muncul atau paling banyak frekuensinya;
dan (3) median atau nilai yang posisinya berada di tengah-tengah rentangan
sekelompok nilai.
8. Variabilitas
Analisis
variabilitas atau keragaman skor digunakan untuk mengetahui “sebaran skor”
dalam suatu kumpulan data hasil tes. Berdasarkan hasil analisis
variabilitas, pelaksana tes (tester) dapat
mengetahui, bagaimana skor tersebut menyebar. Analisis variabilitas ini
penting, karena kalau hanya berdasarkan analisis kecenderungan (tendensi
sentral), tidak diketahui, bagaimana sebaran skor diperoleh peserta tes. Beberapa
ukuran keragaman atau variabilitas yakni rentang (range), simpangan baku atau
standar deviasi dan varians.
DAFTAR RUJUKAN
M. Tajudin Nur. Penelitian Pendidikan SD Unit 9.
Note: Untuk bahan Analisis Data Hasil Non-Tesnya bisa dilihat pada postingan selanjutnya,,, see you :)







