Kamis, 05 Oktober 2017

HAKIKAT PENELITIAN TINDAKAN KELAS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Penelitian tindakan (action research) sering dibicarakan dalam konteks penelitian, khususnya penelitian dalam bidang pendidikan, lebih khusus lagi dalam hal pengembangan proses pembelajaran di tingkat kelas atau sekolah. Penelitian Tindakan Kelas disebut juga Classroom Action Research. Classroom Action Research (CAR) adalah action research yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Action research pada hakekatnya merupakan rangkaian riset tindakan yang dilakukan secara siklus dalam rangka memecahkan masalah-masalah pendidikan.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka masalah diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa pengertian penelitian tindakan kelas ?
2. Apa bedanya penelitian lain yang bukan penelitian tindakan kelas ?
3. Bagaimana karakteristik penelitian tindakan kelas ?
4. Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya penelitian tindakan kelas ?

1.3    Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas tentang:
1. Pengertian penelitian tindakan kelas.
2. Perbedaan penelitian lain yang bukan penelitian tindakan kelas.
3. Karakteristik penelitian tindakan kelas.

1.4  Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan kami adalah:
1. Dapat menjelaskan pengertian penelitian tindakan kelas.
2. Dapat membedakan penelitian lain yang bukan penelitian tindakan kelas.
3. Dapat mengidentifikasikan karakteristik penelitian tindakan kelas.
1.5  Manfaat Penulisan
1.    Sebagai tambahan pengetahuan, wawasan dan penerapan ilmu pengetahuan bagi penulis.
2.    Sebagai informasi kepada pembaca agar lebih memahami hakikat penelitian tindakan kelas.
3.    Sebagai masukan bagi calon guru tentang metodologi penelitian.

























BAB II
ISI
A. Apa Penelitian Tindakan ?
Penelitian tindakan (action research) merupakan penelitian yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah atau perbaikan. Dalam konteks penelitian, penelitian tindakan (action research), sering dibicarakan dalam konteks penelitian, khususnya penelitian dalam bidang pendidikan, lebih khusus lagi dalam hal pengembangan proses pembelajaran di tingkat kelas atau sekolah. Sebagai contoh, dalam seting kelas, guru-guru membuat pemecahan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi dalam kelas. Sedangkan dalam lingkup lebih luas misalnya di sekolah, kepala sekolah mengadakan perbaikan terhadap manajemen di sekolahnya. Contoh pertama, penelitian tindakan difokuskan pada perbaikan proses pembelajaran melalui kinerja guru. Sedangkan contoh kedua, penelitian tindakan difokuskan untuk memperbaiki manajemen sekolah oleh kepala sekolah sebagai manajer atau pimpinan di sekolah. Penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru di kelas disebut Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research). Classroom Action Research (CAR) adalah action research yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh kepala sekolah disebut Penelitian Tindakan Sekolah (School Action research). Penelitian tindakan pada hakekatnya merupakan rangkaian riset tindakan yang dilakukan secara siklus dalam rangka memecahkan masalah-masalah pendidikan melalui metode penelitian.
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara yang dilakukan dalam proses penelitian. Untuk itu penggunaan metode harus sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai maka penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Metode Penelitian Tindakan Kelas merupakan proses pengkajian melalui sistem berdaur dari berbagai kegiatan pembelajaran (Depdikbud, 1999). Adapun tahap-tahapnya adalah sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi permasalahan dalam Penelitian Tindakan Kelas.
b. Menganalisis permasalahan dan merumuskan masalah untuk untuk keperluan Penelitian Tindakan Kelas.
c. Merencanakan tindakan perbaikan berdasarkan contoh rumusan masalah yang diajukan.
d. Memahami tahap pelaksanaan tindakan dan cara Observasi-Interpretasi yang dilakukan sementara Penelitian Tindakan Kelas berlangsung.
e. Memahami cara menganalisis data hasil obervasi serta melakukan refleksi berkenaan dengan tindakan perbaikan yang dilaksanakan.
f. Memahami cara merencanakan tindak lanjut dalam siklus Penelitian Tindakan Kelas.
Terkait dengan kerangka kerja dan sistem berdaur dalam kegiatan pembelajaran, Joni (1998) mengemukakan lima tahapan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas. Adapun tahap-tahap tersebut adalah:
a. Pengembangan fokus masalah penelitian.
b. Perencanaan tindakan perbaikan.
c. Pelaksanaan tindakan perbaikan, observasi dan interpretasi.
d. Analisis dan refleksi.
e. Perencanaan tindak lanjut.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode Penelitian Tindakan Kelas adalah metode yang bertujuan melakukan tindakan perbaikan, peningkatan dan juga melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya sebagai upaya pemecahan masalah yang dihadapi, terutama ditujukan pada kegiatan pembelajaran atau proses belajar-mengajar di kelas.
Pada hakikatnya tujuan belajar itu adalah terjadinya perubahan tingkah laku melalui proses belajar. Dalam konteks proses belajar-mengajar tersebut, Sanjaya (2005) mengatakan bahwa belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga munculnya perubahan perilaku dan mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar. Dalam konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi, kegiatan yang berhubungan dengan Proses Belajar Mengajar disebut dengan Pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi siswa harus dijadikan sebagai pusat dari kegiatan proses belajar mengajar. Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa proses belajar-mengajar di sekolah/di kelas meliputi kegiatan yang saling berhubungan dan berpengaruh yang berlangsung dalam situasi pembelajaran sehingga terjadinya perubahan tingkah laku siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yaitu pembelajaran.

B. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
Sebagaimana halnya penelitian atau arti riset, penelitian tindakan kelas juga merupakan upaya untuk mencari jawaban yang dapat menjadi pemecahan suatu masalah yang sedang dihadapi. Berkenaan dengan arti penelitian tindakan kelas ini, ada berbagai sumber literatur yang mencantumkan pengertian penelitian tindakan kelas. Walaupun ada beberapa definisi penelitian tindakan kelas yang kadang-kadang terlihat berbeda, namun definisi-definisi tersebut memiliki banyak persamaan. Perlu pula dikemukakan bahwa sebelum istilah penelitian tindakan kelas digunakan, yang lebih banyak dikenal adalah Penelitian Tindakan (Action Research). Penelitian tindakan ini memiliki kawasan yang lebih luas dari pada penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu di luar ilmu pendidikan, misalnya dalam bidang industri, kesehatan, ekonomi dan sebagainya.
Penelitian tindakan dapat dilakukan pada berbagai area atau seting. Bilamana penelitian tindakan yang berkenaan dengan bidang pendidikan dilaksanakan pada area, kawasan atau seting kelas, kemudian melakukan refleksi diri atau penilaian diri untuk perbaikan-perbaikan pembelajaran maka penelitian tindakan tersebut dinamakan penelitian tindakan kelas. Dengan kata lain, penelitian tindakan kelas adalah penelitian praktis yang dilakukan oleh guru di dalam kelas dengan melakukan refleksi diri dengan tujuan memperbaiki proses pembelajaran di kelas. Upaya-upaya perbaikan ini dilakukan dengan melaksanakan tindakan-tindakan tertentu guna mencari cara-cara yang lebih tepat dan efektif atas permasalahan sehari-hari di kelas.
Untuk lebih memahami penelitian tindakan kelas, mari kita kaji beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar. Kemmis dan Carr (1986), mengemukakan bahwa “penelitian tindakan kelas merupakan suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif yang dilakukan oleh pelaku di dalam masyarakat sosial dan bertujuan untuk memperbaiki pekerjaannya, memahami pekerjaannya, serta memahami situasi dimana pekerjaan itu dilakukan”. Dalam penjelasan lebih lanjut terhadap definisi tersebut, keduanya memasukkan bidang pendidikan di dalamnya. Itu berarti guru merupakan pihak yang harus terlibat aktif dalam penelitian tindakan kelas. Dalam pernyataan lebih lanjut dikemukakan bahwa situasi tidak akan dapat berubah secara cepat sebagaimana diharapkan oleh para guru. Akan tetapi mereka dapat belajar sesuatu tentang proses perubahan itu sendiri.
Ebbut (1985) memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian penelitian tindakan kelas. Dikemukakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu studi yang sistematis yang dilakukan dalam upaya memperbaiki praktik-praktik dalam pendidikan dengan melakukan tindakan praktis serta refleksi dari tindakan-tindakan tersebut. Ebbut melihat bahwa proses penelitian tindakan kelas sebagai suatu rangkaian siklus yang berkelanjutan. Di dalam dan di antara siklus-siklus tersebut terdapat sejumlah informasi yang merupakan balikan (feedback). Ebbut menegaskan bahwa penelitian-penelitian harus memberikan kesempatan kepada guru atau siswa sebagai pelaku untuk melaksanakan tindakan-tindakan tertentu melalui beberapa siklus agar terjadi perubahan-perubahan yang diharapkan, yaitu terjadinya perbaikan proses belajar dalam rangka mencapai hasil belajar siswa yang lebih baik. Bahkan Kurt Levin, orang yang mempopulerkan penelitian tindakan kelas berpendapat bahwa cara terbaik untuk memajukan kegiatan adalah dengan melibatkan mereka dalam penelitian mereka sendiri dan yang ada di dalam kehidupan mereka (dalam Mc.Niff, 1982: 21). Penelitian tindakan kelas tersebut merupakan suatu rangkaian langkah-langkah (a spiral of steps). Setiap langkah terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Langkah-langkah tersebut menurut Kemmis & Mc.Taggart, (1982), digambarkan sebagai suatu proses yang dinamis, meliputi empat aspek, yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi harus dipahami bukan sebagai langkah-langkah yang statis, terselesaikan dengan sendirinya, tetapi lebih merupakan momen-momen dalam bentuk spiral.
Secara singkat Penelitian Tindakan Kelas dapat didefinisikan sebagai suatu
bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka (guru) dalam melaksanakan tugasnya, seperti diilustrasikan pada gambar berikut.
Setelah dilakukan refleksi/perenungan yang mencakup analisis, sintesis dan penelitian terhadap hasil pengamatan terhadap proses serta tindakan tadi, biasanya muncul permasalahan/pemikiran baru yang perlu mendapat perhatian, sehingga pada gilirannya perlu dilakukan perencanaan ulang, tindakan ulang dan pengamatan ulang, serta diikuti pula dengan refleksi ulang sampai sesuatu permasalahan dianggap teratasi utuh kemudian biasanya diikuti oleh kemunculan permasalahan lain yang juga harus diperlakukan serupa.
Siklus tindakan secara umum mempunyai model-model penelitian yang memiliki alur yang sama. Alur pelaksanaan penelitian tindakan, digambarkan seperti berikut.
Gambar di atas menunjukkan bahwa:
1. Sebelum melaksanakan tindakan penelitian, terlebih dahulu harus merencanakan secara bersama jenis tindakan yang akan dilakukan.
2. Setelah rencana disusun secara matang barulah tindakan dilakukan.
3. Bersamaan dengan dilaksanakan tindakan penelitian, juga dilakukan kegiatan untuk mengamati proses pelaksanaan tindakan itu sendiri dan akibat yang ditimbulkan.
4. Berdasarkan hasil penelitian kemudian dilakukan refleksi atas tindakan yang telah dilakukan. Apabila hasil refleksi menunjukkan perlunya dilakukan perbaikan atas tindakan yang dilakukan maka rencana tindakan perlu disempurnakan lagi agar tindakan berikutnya tidak sekedar mengulang apa yang telah diperbuat sebelumnya.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode Penelitian Tindakan Kelas adalah metode yang bertujuan untuk melakukan tindakan perbaikan, peningkatan dan juga melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya sebagai upaya pemecahan masalah yang dihadapi, terutama ditujukan pada kegiatan pembelajaran atau proses belajar-mengajar di kelas.

C. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Beberapa karakteristik atau ciri penelitian tindakan kelas adalah sebagai berikut.
1. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan oleh guru sendiri
Sebagai pengelola dan pelaksana program di kelas, guru merupakan orang yang paling banyak mengenal dan mengetahui persoalan-persoalan di kelasnya sebagai tempat dia mengajar. Sebagai seorang pengelola dan pelaksana program di kelas, guru bertanggung jawab mengelola mata pelajaran sesuai dengan bidang studinya. Karena itu bersamaan dengan kegiatan mengajar, guru juga melaksanakan perbaikan-perbaikan. Dengan kata lain, guru melakukan tindakan-tindakan guna melakukan perubahan-perubahan yang berkenaan dengan upaya menuju perbaikan pembelajaran. Upaya-upaya perbaikan pembelajaran dengan melakukan langkah-langkah secara bertahap sesuai dengan siklus yang telah ditentukan merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh guru sendiri.
2. Penelitian tindakan kelas berangkat dari permasalahan nyata di kelas
Penelitian tindakan kelas berangkat dari permasalahan praktis dan faktual. Permasalahan faktual adalah permasalahan yang timbul dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari yang dirasakan atau dihadapi oleh guru. Permasalahan yang diangkat bukanlah permasalahan yang diberikan orang lain sebagaimana penelitian-penelitian lain pada umumnya.
Idealnya setiap guru memahami dan mengenal permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajarannya sehari-hari. Namun kenyataannya tidak semua guru mengetahui dan menyadari bahwa ada masalah dalam proses pembelajaran yang dia lakukan. Suyanto (1997), bahkan mengemukakan bahwa tidak semua guru mampu melihat sendiri apa yang telah dilakukan selama mengajar di kelas, sehingga tidak mustahil guru melakukan kekeliruan selama bertahun-tahun dalam kegiatan mengajar. Karena itu dimungkinkan keberadaan orang lain yang dapat melihat apa yang dikerjakan guru dalam proses pembelajaran di kelas. Dengan kata lain dalam keadaan ini diperlukan orang lain untuk melihat apakah diri guru tersebut melakukan kekeliruan atau kekurangtepatan dalam kegiatan mengajar. Untuk keperluan ini guru dapat meminta bantuan teman guru mata pelajaran sejenis untuk melihat pada waktu dia mengajar dan memberikan balikan terhadap kegiatan yang dilakukannya. Selain itu juga mungkin diperlukan dosen-dosen LPTK yang berperan guna membantu melakukan refleksi dan memberikan masukan-masukan terhadap proses pembelajaran yang dilakukannya.
3. Penelitian tindakan kelas mempersyaratkan adanya tindakan yang berlanjut untuk memperbaiki proses pembelajaran
Adanya tindakan yang diarahkan untuk perbaikan pembelajaran merupakan ciri mendasar yang selalu ada dalam penelitian tindakan kelas. Tindakan-tindakan ini harus dirancang atau direncanakan secara cermat. Bahkan ciri inilah sesungguhnya yang menyebabkan penelitian ini dinamakan penelitian tindakan kelas.
Jika ada upaya-upaya penelitian untuk mengeksplorasi masalah-masalah pembelajaran, akan tetapi tidak ada tindakan-tindakan tertentu yang dirancang atau direncanakan untuk perbaikan pembelajaran tersebut, maka penelitian ini hanya dapat dinamakan penelitian kelas. Tindakan-tindakan inilah yang diimplementasikan dan selanjutnya dievaluasi untuk mengetahui apakah tindakan-tindakan yang telah diimplementasikan tersebut dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi guru dalam proses pembelajaran di kelasnya.
4. Adanya refleksi diri
Munculnya kesadaran pada diri guru terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya selama ini di kelas mempunyai masalah yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, munculnya kesadaran dan kepedulian guru terhadap perbaikan kualitas pembelajaran yang diprakarsai dari dalam diri guru sendiri yang dalam penelitian tindakan disebut tahap refleksi. Kegiatan refleksi merupakan awal dari munculnya masalah yang perlu dicari jawabannya melalui penelitian tindakan kelas. Berbeda dengan penelitian biasa yang mengumpulkan data dari lapangan atau objek sebagai responden, penelitian tindakan kelas mempersyaratkan guru mengumpulkan data dari praktek pembelajarannya sendiri melalui refleksi diri. Ini berarti guru mencoba mengingat kembali apa yang dikerjakannya di dalam kelas, apa dampak suatu tindakan yang dilakukannya bagi siswa, dan kemudian yang terpenting guru mencoba memikirkan mengapa dampaknya seperti itu. Dari hasil renungan tersebut, guru mencoba menemukan kelemahan dan kekuatan dari tindakan-tindakan yang dilakukannya, kemudian mencoba memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan tindakan yang belum baik.

D. Perbedaan Penelitian Tindakan Kelas dan Non Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan dalam konteks perubahan sekolah, sebagai contoh di Inggris pada tahun 1990-an, dilakukan sebagai upaya mereformasi kurikulum dengan memperkenalkan sistem pendidikan yang berbeda dari sistem yang diberlakukan hampir dua puluh tahun terakhir di negara tersebut. Dalam kaitan ini, beberapa hal yang perlu diketahui dan pahami, antara lain sebagai berikut.
1. Proses Awal terjadinya Action Research dan Perbedaannya dengan Research yang “Sebenarnya”
Elliot berpendapat bahwa secara implisit pergerakan reformasi kurikulum berbasis sekolah (yang terjadi di Inggris) adalah memprovokasi bagi terjadinya persepsi pembelajaran, pengajaran dan evaluasi, dimana guru harus memprakarsai adanya kegiatan-kegiatan kolaboratif dan bangkit dari kebiasaan-kebiasaan tradisionalnya. Berangkat dari pendapat ini, maka dalam prakteknya kurikulum pembelajaran tidak diambil berdasarkan teori-teori, akan tetapi dari apa yang dihasilkan dan dilakukan oleh para guru itu sendiri berdasarkan hipotesis yang diambilnya. Dengan berdasarkan pada data empiris dan pengaruh-pengaruh yang dikumpulkannya, yang kemudian digunakannya sebagai alat bukti pendukung bagi terbentuknya “teori baru” dalam konteks kelembagaan (sekolah) yang dapat dipertanggungjawabkan (accountability). Dan, ilustrasi inilah yang kemudian, oleh kalangan akademisi dinamakannya sebagai “action research” atau penelitian tindakan, bukannya sebagai “research” atau “penelitian yang sebenarnya”.
Secara singkat, kegiatan-kegiatan atau proses yang dilakukan guru tersebut, yang kemudian disebutnya sebagai “penelitian tindakan” bagi upaya proses mereformasi kurikulum, oleh Elliot diilustrasikan sebagai berikut.
1) Bahwa proses tersebut diprakarsai dengan tindakan guru dalam merespon “situasi praktis” tertentu yang dihadapinya.
2) Bahwa “situasi” praktis tersebut merupakan aktifitas kurikulum tradisional yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang dialami siswa.
3) Rencana inovasi menimbulkan kontroversi di kalangan pegawai, karena mereka bertahan pada keyakinan lama terhadap praktek-praktek pembelajaran, pengajaran, dan evaluasi.
4) Kemudian isu-isu “rencana inovasi” tersebut dijelaskan dan dicarikan solusinya dalam suatu debat terbuka dan bebas di kalangan sekolah (lembaga), dengan tetap memperhatikan adanya saling pengertian dan toleransi.
5) Rencana perubahan tersebut ditetapkan sebagai “hipotesis sementara” (provisional hypotheses) yang akan diuji dengan praktek dalam lingkup kelembagaan (sekolah), yang hasilnya akan dipertanggungjawabkan ke seluruh pegawai sekolah.
6) Sehingga dengan demikian, maka manajemen pengembangan kebijakan dan strategi kurikulum berjalan secara “bottom up” (dari bawah), bukannya “top down” (dari atas).
Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan penelitian tindakan (action research), apa perbedaannya dengan penelitian (research) yang “sebenarnya”? Banyak lagi pertanyaan seputar penelitian lainnya, karena selama ini mungkin ada yang beranggapan bahwa antara penelitian tindakan dengan penelitian tidaklah mengandung banyak perbedaan, dimana keduanya dipersepsikan hampir dapat disamakan atau nyaris sama.
Namun, setelah mengkaji dengan seksama pada bagian-bagian selanjutnya, ternyata memang, didapatkan kejelasan bahwa antara keduanya ada “proses awal” yang menjadikan “pembeda” antara penelitian tindakan dan penelitian. Dalam penelitian tindakan proses awalnya ditengarai karena adanya “situasi praktis” dari kondisi pembelajaran yang membosankan siswa dan memerlukan respon guru untuk menyikapinya. Sementara penelitian “yang sebenarnya”, menurut Bogdan dan Biklen (1990) adalah berangkat dari adanya “premis-premis” yang mendahuluinya, dan kemudian dengan berdasarkan premis-premis tersebut lalu dilakukan perumusan hipotesa untuk selanjutnya dilakukan kajian-kajian dan kegiatan-kegiatan yang disebutnya sebagai research atau penelitian. Mereka mendefinisikan action research (riset aksi/penelitian tindakan) sebagai: “…kegiatan pengumpulan informasi secara sistematis yang dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan…”. Sementara itu, Mills (2000: 6) mendefinisikan action research sebagai bentuk penelitian sistimatis yang dilakukan oleh guru, kepala sekolah, penyuluh sekolah, atau pihak lain dalam lingkungan belajar-mengajar, untuk mengumpulkan berbagai informasi seputar operasi sekolah, bagaimana guru mengajar, dan bagaimana siswa belajar.
Penjelasan lebih lengkap tentang penelitian tindakan yang dikemukakan oleh McNiff (1995: 1) menyatakan bahwa penelitian tindakan adalah merupakan bentuk penelitian refleksi-diri (selfreflective inquiry) yang dilakukan dan digunakan sebagai upaya pengembangan kurikulum berbasis sekolah, pengembangan profesional, peningkatan kinerja sekolah, dan sebagainya yang melibatkan guru secara aktif dalam proses penelitiannya. Dengan demikian, nampak kejelasan bahwa antara penelitian tindakan dengan penelitian “yang sebenarnya”, dari segi seting tempat dan pelaku penelitiannya menunjukkan adanya perbedaan, dimana seting penelitian tindakan (action research) dilakukan di dalam kelas atau sekolah dan harus melibatkan guru sebagai peneliti, sementara dalam penelitian (research) biasanya bisa saja dilakukan di dalam maupun di luar kelas/sekolah dan tidak harus melibatkan guru sebagai peneliti.
Untuk melengkapi pemahaman tentang beberapa hal yang menjadikan/menimbulkan perbedaan antara penelitian tindakan (action research) dengan penelitian (research), disajikan dalam tabel berikut ini.
Dalam hal metode yang digunakan, nampaknya terdapat berbedaan pendapat antara Mills dan Elliot, dan Bogdan & Biklen. Dimana Mills berpendapat bahwa dalam penelitian (research) lebih ditekankan pada penggunaan metode kuantitatif, sementara dalam penelitian tindakan (action research) lebih ditekankan penggunaan metode kualitatif. Sementara itu Elliot (1998: 67-89), dan Bogdan & Biklen (1990: 286) berpendapat bahwa baik metode kuantitatif maupun metode kualitatif, kedua-duanya dapat dipergunakan dalam action research, tergantung “selera” pelaku/peneliti itu sendiri.

2. Hal-hal yang mendasari pelaksanaan Action Research
Tujuan utama dilakukannya penelitian tindakan (action research) menurut Elliott (1998: 49) adalah bukan untuk meningkatkan pengetahuan guru, akan tetapi untuk meningkatkan kinerjanya (praktek pembelajaran). Hasil dan kelengkapan pengetahuan yang diperoleh dalam proses action research, jelas Elliott selanjutnya, adalah disumbangkan dan dikondisikan untuk mendukung tercapainya tujuan utama tersebut. Penelitian termasuk di dalamnya adalah action research haruslah dipandang sebagai sesuatu yang dilakukan oleh guru, akan tetapi bukan untuk guru (Mills, 2000: 8).
Berangkat dari konsep tujuan sebagaimana dijelaskan Elliott dan secara implisit juga dikemukakan oleh Mills sebagaimana tersebut di atas, nampaknya dalam penelitian tindakan ini lebih dikedepankan tentang “proses” yang harus dipahami oleh peneliti, bukannya hasil berupa pengetahuan seputar penelitian tindakan itu sendiri. Kendatipun diakui bahwa pengetahuan tentang penelitian tindakan juga diperlukan, akan tetapi sebagai sarana penunjang bagi keberhasilan proses dan pengkondisian pembelajaran yang dilakukan guru. Temuan-temuan praktis yang diperoleh guru dalam proses pembelajaran dipergunakan untuk pengambilan keputusan bagi terciptanya perubahan yang diharapkan. Sementara itu, Mills dalam bukunya ‘Action Research; A Guide for the Teacher Researcher’ (2000: 6), secara lebih lengkap mengemukakan bahwa penelitian tindakan dilakukan dengan tujuan untuk pencapaian pemahaman (insight), mengembangkan praktek yang reflektif, mempengaruhi perubahan positif dalam upaya memperbaiki hasil belajar siswa dan kehidupannya.
Tidak jauh berbeda dengan beberapa pendapat tersebut, McNiff dalam bukunya ‘Action Research: Principles and Practice’ (1995: 2) juga menyatakan bahwa penelitian tindakan adalah merupakan cara mengkarakteristikkan serangkaian kegiatan yang didesain sedemikian rupa untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang pada hakikatnya merupakan cara efektif dalam bentuk program refleksi-diri yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan.
Dari pendapat para ahli seputar tujuan dilakukannya penelitian tindakan khususnya di sekolah (kelas), dapat disimpulkan bahwa pada intinya penelitian tindakan dilakukan dengan tujuan untuk “menciptakan” atau “mengkondisikan” adanya perubahan proses pembelajaran yang lebih baik dan lebih berdayaguna (efektif) daripada kondisi-kondisi yang ada sebelumnya.
Untuk mencapai terciptanya kondisi seperti yang diharapkan tersebut, maka Elliot mengemukakan adanya beberapa karakteristik pokok dari penelitian tindakan (action research) yang diasumsikan sebagai hal-hal yang mendasari pelaksanaannya, seperti:
• Bahwa kegiatan pembelajaran, penelitian kependidikan, pengembangan kurikulum, dan evaluasi adalah merupakan faktor-faktor integral dalam proses penelitian tindakan.
• Tujuan utama penelitian tindakan adalah untuk meningkatkan kenerja yang praktis, bukannya memproduksi pengetahuan.
• Penelitian tindakan merupakan suatu bentuk alternatif untuk menjelaskan refleksi etis dari suatu program pembelajaran yang direncanakan.
• Oleh karena itu, maka penelitian tindakan harus menetapkan suatu resolusi atau jalan keluar atas munculnya permasalahan antara teori-praktik yang dihadapi guru.
• Penelitian tindakan mempersatukan proses-proses yang seringkali dianggap “berbeda”, seperti: pembelajaran, pengembangan kurikulum, evaluasi, penelitian kependidikan, dan pengembangan profesional.
• Penelitian tindakan juga harus mengintegrasikan pembelajaran dan pengembangan guru, pengembangan kurikulum dan evaluasi, penelitian dan refleksi filosofis, ke dalam satu konsepsi yang merefleksikan kinerja pendidikan.
• Penelitian tindakan dilakukan tidak untuk memberdayakan guru sebagai “menempatkan fungsi individualnya terpisah dari yang lainnya”. Dalam hal ini harus diingat bahwa penelitian tindakan bagi guru adalah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pengalaman belajar siswa yang terstruktur dalam kurikulum agar dapat direfleksikan dalam bentuk pedagogis.
Karena itu, bagaimanapun, jelas Elliot lebih lanjut, maka dalam penelitian tindakan haruslah mencakup proses transformasi budaya profesionalisme dalam “diri guru” yang mendorong terciptanya kolaboratisme pengalaman dan persepsi siswa, orang tua, dan pekerja terhadap peningkatan kinerja dan tugas-tugasnya.
Mendukung pemikiran Elliot, McNiff (1995: 3-9) juga mengelaborasikan adanya landasan filosofis (pemikiran) bagi pelaksanaan action research, diantaranya McNiff mengemukakan bahwa oleh karena penelitian tindakan diaplikasikan di dalam kelas sebagai suatu bentuk pendekatan peningkatan pendidikan melalui adanya proses perubahan, maka guru harus hati-hati dan kritis dalam mempraktekkannya, serta harus “disiapkan” dengan perubahan itu sendiri. Penelitian tindakan yang dilakukan di kelas/sekolah haruslah lebih persuasif, relevan dan menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi guru dan koleganya (Mills, 2000: 8).
Berdasarkan pendapat dan pemikiran para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan penelitian tindakan, tidak boleh terlepas dari koridor dan konteks proses peningkatan pembelajaran di sekolah dalam pengertian yang sempit, dan proses peningkatan pendidikan secara umum dalam pengertian yang luas.
3. Dilema yang Dihadapi Guru dalam Melakukan Penelitian Tindakan dan Upaya Mengatasinya
Elliot mengemukakan pengalamannya bahwa ketika melakukan penelitian di sekolahnya, berbagai “resolusi” yang ditawarkan pada kenyataannya “tidak membantunya” dalam penelitian tersebut. Hal ini dikarenakan masih kuatnya status quo kebiasaan/budaya guru. Oleh karenanya ia menggarisbawahi perlunya cara-cara yang dilakukan guru sebagai peneliti untuk mencari jalan keluar seandainya dirinya selaku peneliti (inside researcher) harus memainkan perannya sebagai trasnformator terkondisikannya budaya baru di sekolahnya.
Untuk menjustifikasi pengalamannya, Elliot menguatkannya dengan alasan yang dikemukakan oleh Simon (dalam Elliot, 1998: 56) bahwa “…popularitas dari evaluasi yang dilakukan sendirian di sekolah mengindikasikan terbentuknya anggapan ingin membedakan pandangan idiologis”. Selanjutnya Simon juga mengemukakan bahwa manakala akan melakukan sesuatu yang belum terbiasa di sekolah, harus bersiap-siap menghadapi adanya “pertentangan nilai” (clash of values) seperti masalah-masalah privacy (hal-hal pribadi), territority (kewenangan), dan hierarchy (hirarki).
Selanjutnya Elliot (1991) juga mengidentifikasi beberapa dilema yang sering muncul dalam proses pelaksanaan penelitian tindakan seperti dalam hal:
1) Memberdayakan siswa untuk mengkritisi profesionalisme kinerja guru.
2) Pengumpulan data.
3) Sharing data dengan teman sejawat, baik yang di dalam maupun di luar
lingkungan sekolahnya.
4) Guru sebagai peneliti di sekolah cenderung memilih metode pengumpulan data kuantitatif melalui kuesioner misalnya untuk maksud-maksud yang seharusnya dilakukan dengan metode kualitatif seperti melakukan observasi naturalistik dan wawancara misalnya, karena dalam metode kualitatif melibatkan situasi personal yang terasa sulit dipisahkan dari posisi dan perannya sebagai peneliti di sekolah.
5) Guru sebagai peneliti, cenderung menolak untuk memproduksi studi kasus terhadap apa yang dilakukannya.
6) Masalah penentuan waktu penelitian sepenuhnya ditentukan oleh guru selaku peneliti.
Demikianlah beberapa dilema besar yang dihadapi guru manakala ia melakukan penelitian tindakan di sekolahnya sendiri untuk memprakarsai adanya perubahan kurikulum di sekolah.
Diakui memang, bahwa untuk mengadakan suatu perubahan atau reformasi, khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran di suatu sekolah (kelas), banyak sekali faktor-faktor “etis” berkaitan dengan “nilai” (values) yang menimbulkan dilema bagi para guru sebagai peneliti.
Namun, sebagai antisipasi terhadap dilema tersebut, Elliot (1991: 67) juga memberikan beberapa cara, diantaranya ia menyatakan bahwa guru khususnya yang berpendidikan lebih tinggi sebagai pendidik tentunya dapat berbuat banyak untuk mendorong dan menegakkan tumbuh-kembangnya “refleksi budaya profesionalisme” di sekolah. Maka, dengan menekankan pentingnya metodologi refleksi-diri sebagai cara untuk menstransformasikan budaya profesionalisme di sekolah, niscaya keberadaan berbagai dilema sebagaimana disebutkan di atas dapat diatasinya dengan baik.
Demikian halnya dengan konsep ‘Democratic Case Study’ yang dikemukakan oleh MacDonald (1974) yang dijadikan alasan oleh Simon (1985), sebagaimana dikutip oleh Elliot (1991: 67), juga dapat dipraktekkan guru selaku insider dalam action research sebagai metodologi empiris-kualitatif bagi teratasinya masalah status quo, privacy, dan territoriality di sekolah. Dimana dalam mempraktekkan konsep democratic case study tersebut haruslah mencakup terjaminnya kerahasiaan informasi “pribadi”, dan terbinanya negosiasi untuk dapat menerima dan mengeluarkan pendapat/informasi dari setiap individu.
Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya dilemma implikasi realitas yang dihadapi peneliti dan obyeknya dalam suatu penelitian yang menghendaki terjadinya proses perubahan (dalam hal pembelajaran, misalnya), Michael G. Fullan dan Suzanne dalam bukunya ‘The Meaning of Educational Change’ (1991) mengemukakan pendapatnya, yaitu dengan memberikan “pesan etis” berupa enam hal yang harus diperhatikan ketika melakukan observasi penelitian, yaitu:
1) Kemukakan rencana-rencana perubahan secara jelas;
2) Fahami kegagalan yang terjadi dari penelitian/perubahan sebelumnya;
3) Bimbinglah untuk memahami adanya perubahan yang diharapkan secara alami;
4) Pernyataan dari status quo;
5) Kedalaman perubahan; dan
6) Pertanyaan penilaian.
Masih dalam hal “etika” yang harus dipunyai peneliti untuk menghalau kemungkinan dilema yang muncul dalam penelitian yang dilakukannya, Jack R. Fraenkel dan Norman E. Wallen dalam bukunya ‘ How To Design and Evaluate Research in Education’ (1993) menganjurkan kepada peneliti agar memperhatikan tiga prinsip etika yang sangat penting yaitu: 1) melindungi partisipan penelitian dari rasa takut/bahaya; 2) dukungan data yang meyakinkan bagi diperlukannya penelitian; dan 3) dihindarkan adanya pertanyaan-pertanyaan yang “menipu”. Mendukung pendapat Fraenkel dan Wallen tersebut, Keith F. Punch dalam bukunya ‘Introduction to Sosial Research: Quantitative and Qualitative Approaches’ (1998) menambahkan bahwa jalan terbaik untuk membuat kejelasan penelitian adalah mendeskripsikan apa yang akan ditelitinya, sambil menjelaskan mengapa atau bagaimana penelitian itu dilakukan.
4. Implikasi Penelitian Tindakan terhadap Perubahan Kurikulum dan Kebijakan Pemerintah
Keberadaan action research, menurut John Elliott, setidak-tidaknya memberikan nilai tambah bagi upaya perbaikan proses pendidikan secara umum, karena diyakini bahwa action research memberikan implikasi positif dalam mengembangkan budaya “profesionalisme” guru khususnya dalam mencari dan mengembangkan pola-pola pembelajaran yang up to date, berdaya dan berhasil guna, menarik dan tidak membosankan bagi siswa, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan mutu keberhasilan siswa dalam belajar di sekolah.
Penelitian tindakan diyakini dapat memberikan implikasi positif terhadap proses pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian tindakan (action research) merupakan:
• Kegiatan kreatif yang cocok dan sangat mungkin dilakukan guru.
• Bentuk pendekatan yang dapat mencarikan solusi dari keadaan yang ambiguity (keragu-raguan).
• Bentuk pendekatan peningkatan idiologis yang dapat dilakukan.
• Memungkinkan terlaksananya praktek mempengaruhi yang bisa diterima/diperhitungkan (counter-hegemonic); karena:
1) Action research menfokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi, mengklarifikasi, dan mencarikan solusi masalah yang dihadapi guru sehubungan dengan praktek pengajarannya.
2) Action research mencakup makna/fungsi dan hasil dari kerja sama (reflective on means and ends).
3) Action research merupakan praktek refleksi/spontanitas.
4) Action research mengintegrasikan teori ke dalam praktek.
5) Action research melibatkan proses dialog sesama guru.
Whitehead (1989) sebagaimana dikutip oleh Elliot (1995: 108) bahkan berkeyakinan bahwa situasi-kondisi penelitian tindakan sebagaimana disebutkan tersebut secara tidak disadari memberikan implikasi terhadap guru untuk memahami diri (self-understanding), yaitu ia jadi tahu perkembangan profesional dirinya.
Penelitian tindakan merupakan stimulus tambahan dalam pengembangan budaya profesionalisme reflektif dan sangat dimungkinkan sebagai bentuk upaya kreatif untuk mempengaruhi pengambil kebijakan pendidikan (pemerintah), khususnya sehubungan dengan bagaimana seharusnya menanggapi budaya profesionalisme guru.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa action research merupakan salah satu solusi yang kreatif bagi guru untuk meningkatkan kinerjanya dalam proses pembelajaran siswa yang lebih berhasil guna dan up to date dengan perkembangan dan perubahan situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungannya.
Proses pembelajaran yang kreatif pada dasarnya akan sangat tergantung kepada faktor “kemauan” dan “kepiawaian” guru untuk mengembangkan dirinya melalui berbagai aktifitas belajar, mencari informasi, mau bekerja sama, meneliti (seperti melakukan action research), dan berbagai aktifitas “progresif” lainnya untuk mengembangkan profesionalisme dalam proses pembelajaran siswa-siswanya di sekolah. Dari kreatifitas-kreatifitas inilah, nantinya akan memunculkan “kebutuhan” dan, bahkan, “keharusan” adanya perubahan/reformasi dari situasi lama yang tradisional ke situasi baru yang lebih profesional. Sehingga pada gilirannya, perubahan-perubahan yang pada awalnya dirasakan dan terjadi hanya pada tingkat mikro (dalam lingkup sekolah/kelas) tersebut pun berujung pada diperlukan adanya perubahan kurikulum pada tingkat makro (dalam lingkup wilayah atau negara). Dengan demikian, maka apa yang dikemukakan Elliott dalam penjelasan dan pendapatnya tentang implikasi action research terhadap perubahan kurikulum dan kebijakan pemerintah kita pun merasa bahwa hal yang semacam itu pun bisa berlaku di negara mana pun, termasuk di Indonesia.
Sependapat dengan Elliott dan McNiff (1995: 71-72) juga menyatakan bahwa implikasi dari penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru di kelas atau sekolah; diantaranya adalah bahwa: (1) berpikir tentang akan adanya perubahan yang terjadi, dan (2) mempengaruhi kemauan politik (pemerintah). Karena, menurut McNiff, bahwa penelitian tindakan adalah merupakan kegiatan politis yang dilakukan untuk menuju suatu perubahan (khususnya dalam bidang pendidikan). Dan untuk melakukan perubahan itu sendiri bisa dimulai dari orang-orang yang terlibat dan berada pada tingkat yang menentukan dalam sistem pendidikan itu. Karena konteks pembelajaran juga memiliki pengaruh besar bagi keberhasilan pendidikan secara umum. Target akhir dari penelitian tindakan itu sendiri adalah untuk meningkatkan kehidupan siswa dan guru melalui perubahan kependidikan (Mills, 2000: 123).
Setelah menyimak dan memahami perbedaan antara penelitian (research) dengan penelitian tindakan (action research), Anda diajak untuk memahami perbedaan antara penelitian tindakan kelas (PTK) dan penelitian tindakan bukan penelitian tindakan kelas (NON PTK). Untuk memperoleh kejelasan mengenai perbedaan antara kedua penelitian tersebut, dapat dilihat perbandingannya seperti tampak dalam tabel berikut.
Bertolak dari perbedaan antara penelitian tindakan kelas (PTK) dan bukan penelitian tindakan kelas (Non PTK) sebagaimana disajikan dalam tabel di atas, tampaknya semakin jelas, penelitian tindakan kelas dilaksanakan oleh guru. Pertanyaannya adalah mengapa harus guru sebagai peneliti, pada hal tugas selain sebagai pendidik dan pembimbing adalah melaksanakan tugas mengajar.
Sekurang-kurang ada dua argumentasi yang dapat menjelaskan mengapa guru sebagai peneliti tindakan kelas yang dikemukakan oleh Hopkins (1993) sebagaimana disadur oleh Wardani dkk. (2003: 1.10) yaitu:
Pertama, guru yang baik perlu punya otonomi dalam melakukan penilaian profesional, sehingga sesungguhnya, ia (guru) tidak perlu diberitahu apa yang harus dia kerjakan. Ini bukan berarti guru tidak dapat menerima masukan atau saran dari orang luar. Meskipun masukan dari orang luar itu penting, tetapi gurulah yang menerima dan menentukan penilaian profesioanal (professional judgement) sesuai dengan kelas dimana praktik pembelajaran terjadi.
Kedua, ketidaktepatan paradigma penelitian formal/biasa dengan upaya berbantuan peningkatan kinerja guru yang diharapkan untuk memperbaiki proses dan praktik pembelajaran oleh guru di kelasnya. Karena itulah, guru yang paling tahu kemampuan dan kinerjanya sendiri melalui berpikir reflektif (reflectif thinking). Selain dua argumentasi yang dikemukan Hopkins tersebut, dapat dikemukakan argumentasi lain, yaitu: dalam praktik pembelajaran, gurulah yang lebih tahu kondisi nyata mengenai proses dan hasil pembelajaran bagi murid (peserta didik) di kelasnya.



BAB III
PENUTUP
1.1    Kesimpulan
1.    Penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru di kelas disebut penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research).
2.    Penelitian tindakan kelas dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan guru dalam melaksanakan tugasnya.
3.    Karakteristik dari penelitian tindakan kelas, yaitu: (1) penelitian tindakan kelas dilaksanakan oleh guru sendiri; (2) penelitian tindakan kelas berangkat dari permasalahan nyata di kelas; (3) penelitian tindakan kelas mempersyaratkan adanya tindakan yang berlanjut untuk memperbaiki proses pembelajaran dan (4) adanya refleksi diri.
4.    Perbedaan penelitian tindakan kelas dan non penelitian tindakan kelas:
a.    Proses awal terjadinya action research dan perbedaannya dengan research yang “sebenarnya”.
b.    Hal-hal yang mendasari pelaksanaan action research.
c.    Dilema yang dihadapi guru dalam melakukan penelitian tindakan dan upaya mengatasinya.
d.   Implikasi penelitian tindakan terhadap perubahan kurikulum dan kebijakan pemerintah.

3.2    Saran
Kami ingin menyampaikan melalui makalah ini agar pembaca makalah dapat memahami materi Metodologi Penelitian mengenai Hakikat Penelitian Tindakan Kelas ini secara mendalam dan mendapat pengetahuan lebih banyak lagi tentang Metodologi Penelitian.



DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman, dkk. 2009. Penelitian Pendidikan SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
E.S, Kasihani Kasbolah. 1998. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdikbud Derjendikti Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar