BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Penelitian tindakan (action
research) sering dibicarakan dalam konteks penelitian, khususnya penelitian
dalam bidang pendidikan, lebih khusus lagi dalam hal pengembangan proses
pembelajaran di tingkat kelas atau sekolah. Penelitian Tindakan Kelas disebut
juga Classroom Action Research. Classroom Action Research (CAR)
adalah action research yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Action
research pada hakekatnya merupakan rangkaian riset tindakan yang dilakukan
secara siklus dalam rangka memecahkan masalah-masalah pendidikan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka masalah diatas dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian penelitian tindakan kelas ?
2.
Apa bedanya penelitian lain yang bukan penelitian tindakan kelas ?
3.
Bagaimana karakteristik penelitian tindakan kelas ?
4.
Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya penelitian tindakan kelas ?
1.3
Batasan Masalah
Makalah
ini hanya membahas tentang:
1. Pengertian penelitian tindakan kelas.
2. Perbedaan penelitian lain yang bukan penelitian
tindakan kelas.
3. Karakteristik penelitian tindakan kelas.
1.4 Tujuan
Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan kami
adalah:
1. Dapat menjelaskan pengertian penelitian tindakan
kelas.
2. Dapat membedakan penelitian lain yang bukan
penelitian tindakan kelas.
3. Dapat mengidentifikasikan karakteristik
penelitian tindakan kelas.
1.5 Manfaat
Penulisan
1. Sebagai tambahan
pengetahuan, wawasan dan penerapan ilmu pengetahuan bagi penulis.
2. Sebagai informasi kepada pembaca agar lebih memahami hakikat penelitian tindakan kelas.
3. Sebagai masukan bagi calon guru tentang metodologi penelitian.
BAB
II
ISI
A.
Apa Penelitian Tindakan ?
Penelitian tindakan (action research) merupakan
penelitian yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah atau perbaikan. Dalam
konteks penelitian, penelitian tindakan (action research), sering
dibicarakan dalam konteks penelitian, khususnya penelitian dalam bidang
pendidikan, lebih khusus lagi dalam hal pengembangan proses pembelajaran di
tingkat kelas atau sekolah. Sebagai contoh, dalam seting kelas, guru-guru
membuat pemecahan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi dalam kelas.
Sedangkan dalam lingkup lebih luas misalnya di sekolah, kepala sekolah
mengadakan perbaikan terhadap manajemen di sekolahnya. Contoh pertama, penelitian
tindakan difokuskan pada perbaikan proses pembelajaran melalui kinerja guru.
Sedangkan contoh kedua, penelitian tindakan difokuskan untuk memperbaiki manajemen
sekolah oleh kepala sekolah sebagai manajer atau pimpinan di sekolah. Penelitian
tindakan yang dilakukan oleh guru di kelas disebut Penelitian Tindakan Kelas (Classroom
Action Research). Classroom Action Research (CAR) adalah action
research yang dilakukan oleh guru di dalam kelas. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh kepala sekolah disebut Penelitian Tindakan Sekolah (School
Action research). Penelitian tindakan pada hakekatnya merupakan
rangkaian riset tindakan yang dilakukan secara siklus dalam rangka memecahkan
masalah-masalah pendidikan melalui metode penelitian.
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara yang
dilakukan dalam proses penelitian. Untuk itu penggunaan metode harus sesuai
dengan tujuan penelitian. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai maka penelitian
ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Metode Penelitian
Tindakan Kelas merupakan proses pengkajian melalui sistem berdaur dari berbagai
kegiatan pembelajaran (Depdikbud, 1999). Adapun tahap-tahapnya adalah
sebagai berikut.
a.
Mengidentifikasi permasalahan dalam Penelitian Tindakan Kelas.
b.
Menganalisis permasalahan dan merumuskan masalah untuk untuk keperluan Penelitian
Tindakan Kelas.
c.
Merencanakan tindakan perbaikan berdasarkan contoh rumusan masalah yang diajukan.
d.
Memahami tahap pelaksanaan tindakan dan cara Observasi-Interpretasi yang dilakukan
sementara Penelitian Tindakan Kelas berlangsung.
e.
Memahami cara menganalisis data hasil obervasi serta melakukan refleksi berkenaan
dengan tindakan perbaikan yang dilaksanakan.
f.
Memahami cara merencanakan tindak lanjut dalam siklus Penelitian Tindakan
Kelas.
Terkait dengan kerangka kerja dan sistem berdaur
dalam kegiatan pembelajaran, Joni (1998) mengemukakan lima tahapan pelaksanaan
Penelitian Tindakan Kelas. Adapun tahap-tahap tersebut adalah:
a.
Pengembangan fokus masalah penelitian.
b.
Perencanaan tindakan perbaikan.
c.
Pelaksanaan tindakan perbaikan, observasi dan interpretasi.
d.
Analisis dan refleksi.
e.
Perencanaan tindak lanjut.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode Penelitian Tindakan Kelas adalah
metode yang bertujuan melakukan tindakan perbaikan, peningkatan dan juga
melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya sebagai upaya
pemecahan masalah yang dihadapi, terutama ditujukan pada kegiatan pembelajaran
atau proses belajar-mengajar di kelas.
Pada hakikatnya tujuan belajar itu adalah terjadinya
perubahan tingkah laku melalui proses belajar. Dalam konteks proses
belajar-mengajar tersebut, Sanjaya (2005) mengatakan bahwa belajar adalah
proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga munculnya perubahan
perilaku dan mengajar adalah suatu aktivitas yang dapat membuat siswa belajar.
Dalam konsep Kurikulum Berbasis Kompetensi, kegiatan yang berhubungan dengan
Proses Belajar Mengajar disebut dengan Pembelajaran. Hal ini mengisyaratkan
bahwa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi siswa harus dijadikan sebagai pusat
dari kegiatan proses belajar mengajar. Dari kedua pendapat tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa proses belajar-mengajar di sekolah/di kelas meliputi
kegiatan yang saling berhubungan dan berpengaruh yang berlangsung dalam situasi
pembelajaran sehingga terjadinya perubahan tingkah laku siswa untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan yaitu pembelajaran.
B.
Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
Sebagaimana halnya penelitian atau arti riset,
penelitian tindakan kelas juga merupakan upaya untuk mencari jawaban yang dapat
menjadi pemecahan suatu masalah yang sedang dihadapi. Berkenaan dengan arti
penelitian tindakan kelas ini, ada berbagai sumber literatur yang mencantumkan
pengertian penelitian tindakan kelas. Walaupun ada beberapa definisi penelitian
tindakan kelas yang kadang-kadang terlihat berbeda, namun definisi-definisi
tersebut memiliki banyak persamaan. Perlu pula dikemukakan bahwa sebelum
istilah penelitian tindakan kelas digunakan, yang lebih banyak dikenal adalah
Penelitian Tindakan (Action Research). Penelitian tindakan ini memiliki
kawasan yang lebih luas dari pada penelitian tindakan kelas. Penelitian
tindakan dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu di luar ilmu pendidikan,
misalnya dalam bidang industri, kesehatan, ekonomi dan sebagainya.
Penelitian tindakan dapat dilakukan pada berbagai
area atau seting. Bilamana penelitian tindakan yang berkenaan dengan bidang
pendidikan dilaksanakan pada area, kawasan atau seting kelas, kemudian
melakukan refleksi diri atau penilaian diri untuk perbaikan-perbaikan
pembelajaran maka penelitian tindakan tersebut dinamakan penelitian tindakan
kelas. Dengan kata lain, penelitian tindakan kelas adalah penelitian praktis
yang dilakukan oleh guru di dalam kelas dengan melakukan refleksi diri dengan
tujuan memperbaiki proses pembelajaran di kelas. Upaya-upaya perbaikan ini dilakukan
dengan melaksanakan tindakan-tindakan tertentu guna mencari cara-cara yang
lebih tepat dan efektif atas permasalahan sehari-hari di kelas.
Untuk lebih memahami penelitian tindakan kelas, mari
kita kaji beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar. Kemmis dan Carr
(1986), mengemukakan bahwa “penelitian tindakan kelas merupakan suatu bentuk
penelitian yang bersifat reflektif yang dilakukan oleh pelaku di dalam
masyarakat sosial dan bertujuan untuk memperbaiki pekerjaannya, memahami
pekerjaannya, serta memahami situasi dimana pekerjaan itu dilakukan”. Dalam
penjelasan lebih lanjut terhadap definisi tersebut, keduanya memasukkan bidang
pendidikan di dalamnya. Itu berarti guru merupakan pihak yang harus terlibat
aktif dalam penelitian tindakan kelas. Dalam pernyataan lebih lanjut dikemukakan
bahwa situasi tidak akan dapat berubah secara cepat sebagaimana diharapkan oleh
para guru. Akan tetapi mereka dapat belajar sesuatu tentang proses perubahan
itu sendiri.
Ebbut (1985) memberikan gambaran yang lebih jelas
tentang pengertian penelitian tindakan kelas. Dikemukakan bahwa penelitian
tindakan kelas merupakan suatu studi yang sistematis yang dilakukan dalam upaya
memperbaiki praktik-praktik dalam pendidikan dengan melakukan tindakan praktis
serta refleksi dari tindakan-tindakan tersebut. Ebbut melihat bahwa proses
penelitian tindakan kelas sebagai suatu rangkaian siklus yang berkelanjutan. Di
dalam dan di antara siklus-siklus tersebut terdapat sejumlah informasi yang
merupakan balikan (feedback). Ebbut menegaskan bahwa penelitian-penelitian
harus memberikan kesempatan kepada guru atau siswa sebagai pelaku untuk
melaksanakan tindakan-tindakan tertentu melalui beberapa siklus agar terjadi
perubahan-perubahan yang diharapkan, yaitu terjadinya perbaikan proses belajar
dalam rangka mencapai hasil belajar siswa yang lebih baik. Bahkan Kurt Levin,
orang yang mempopulerkan penelitian tindakan kelas berpendapat bahwa cara
terbaik untuk memajukan kegiatan adalah dengan melibatkan mereka dalam
penelitian mereka sendiri dan yang ada di dalam kehidupan mereka (dalam
Mc.Niff, 1982: 21). Penelitian tindakan kelas tersebut merupakan suatu rangkaian
langkah-langkah (a spiral of steps). Setiap langkah terdiri dari empat
tahap yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Langkah-langkah
tersebut menurut Kemmis & Mc.Taggart, (1982), digambarkan sebagai suatu
proses yang dinamis, meliputi empat aspek, yaitu perencanaan, tindakan,
observasi dan refleksi harus dipahami bukan sebagai langkah-langkah yang
statis, terselesaikan dengan sendirinya, tetapi lebih merupakan momen-momen
dalam bentuk spiral.
Secara singkat Penelitian Tindakan Kelas dapat
didefinisikan sebagai suatu
bentuk kajian yang
bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemantapan rasional dari tindakan-tindakan mereka (guru) dalam melaksanakan
tugasnya, seperti diilustrasikan pada gambar berikut.
Setelah dilakukan refleksi/perenungan yang mencakup
analisis, sintesis dan penelitian terhadap hasil pengamatan terhadap proses
serta tindakan tadi, biasanya muncul permasalahan/pemikiran baru yang perlu
mendapat perhatian, sehingga pada gilirannya perlu dilakukan perencanaan ulang,
tindakan ulang dan pengamatan ulang, serta diikuti pula dengan refleksi ulang
sampai sesuatu permasalahan dianggap teratasi utuh kemudian biasanya diikuti
oleh kemunculan permasalahan lain yang juga harus diperlakukan serupa.
Siklus tindakan secara umum mempunyai model-model
penelitian yang memiliki alur yang sama. Alur pelaksanaan penelitian tindakan,
digambarkan seperti berikut.
Gambar di atas menunjukkan bahwa:
1.
Sebelum melaksanakan tindakan penelitian, terlebih dahulu harus merencanakan
secara bersama jenis tindakan yang akan dilakukan.
2.
Setelah rencana disusun secara matang barulah tindakan dilakukan.
3.
Bersamaan dengan dilaksanakan tindakan penelitian, juga dilakukan kegiatan untuk
mengamati proses pelaksanaan tindakan itu sendiri dan akibat yang ditimbulkan.
4.
Berdasarkan hasil penelitian kemudian dilakukan refleksi atas tindakan yang telah
dilakukan. Apabila hasil refleksi menunjukkan perlunya dilakukan perbaikan atas
tindakan yang dilakukan maka rencana tindakan perlu disempurnakan lagi agar
tindakan berikutnya tidak sekedar mengulang apa yang telah diperbuat
sebelumnya.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode Penelitian Tindakan Kelas adalah
metode yang bertujuan untuk melakukan tindakan perbaikan, peningkatan dan juga
melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya sebagai upaya
pemecahan masalah yang dihadapi, terutama ditujukan pada kegiatan pembelajaran
atau proses belajar-mengajar di kelas.
C.
Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Beberapa karakteristik atau ciri penelitian tindakan
kelas adalah sebagai berikut.
1.
Penelitian tindakan kelas dilaksanakan oleh guru sendiri
Sebagai
pengelola dan pelaksana program di kelas, guru merupakan orang yang paling
banyak mengenal dan mengetahui persoalan-persoalan di kelasnya sebagai tempat
dia mengajar. Sebagai seorang pengelola dan pelaksana program di kelas, guru bertanggung
jawab mengelola mata pelajaran sesuai dengan bidang studinya. Karena itu
bersamaan dengan kegiatan mengajar, guru juga melaksanakan perbaikan-perbaikan.
Dengan kata lain, guru melakukan tindakan-tindakan guna melakukan
perubahan-perubahan yang berkenaan dengan upaya menuju perbaikan pembelajaran.
Upaya-upaya perbaikan pembelajaran dengan melakukan langkah-langkah secara
bertahap sesuai dengan siklus yang telah ditentukan merupakan penelitian
tindakan kelas yang dilakukan oleh guru sendiri.
2.
Penelitian tindakan kelas berangkat dari permasalahan nyata di kelas
Penelitian
tindakan kelas berangkat dari permasalahan praktis dan faktual. Permasalahan
faktual adalah permasalahan yang timbul dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari
yang dirasakan atau dihadapi oleh guru. Permasalahan yang diangkat bukanlah
permasalahan yang diberikan orang lain sebagaimana penelitian-penelitian lain
pada umumnya.
Idealnya
setiap guru memahami dan mengenal permasalahan yang dihadapi dalam proses
pembelajarannya sehari-hari. Namun kenyataannya tidak semua guru mengetahui dan
menyadari bahwa ada masalah dalam proses pembelajaran yang dia lakukan. Suyanto
(1997), bahkan mengemukakan bahwa tidak semua guru mampu melihat sendiri apa
yang telah dilakukan selama mengajar di kelas, sehingga tidak mustahil guru
melakukan kekeliruan selama bertahun-tahun dalam kegiatan mengajar. Karena itu
dimungkinkan keberadaan orang lain yang dapat melihat apa yang dikerjakan guru
dalam proses pembelajaran di kelas. Dengan kata lain dalam keadaan ini
diperlukan orang lain untuk melihat apakah diri guru tersebut melakukan kekeliruan
atau kekurangtepatan dalam kegiatan mengajar. Untuk keperluan ini guru dapat
meminta bantuan teman guru mata pelajaran sejenis untuk melihat pada waktu dia
mengajar dan memberikan balikan terhadap kegiatan yang dilakukannya. Selain itu
juga mungkin diperlukan dosen-dosen LPTK yang berperan guna membantu melakukan
refleksi dan memberikan masukan-masukan terhadap proses pembelajaran yang
dilakukannya.
3.
Penelitian tindakan kelas mempersyaratkan adanya tindakan yang berlanjut untuk memperbaiki
proses pembelajaran
Adanya
tindakan yang diarahkan untuk perbaikan pembelajaran merupakan ciri mendasar
yang selalu ada dalam penelitian tindakan kelas. Tindakan-tindakan ini harus dirancang
atau direncanakan secara cermat. Bahkan ciri inilah sesungguhnya yang
menyebabkan penelitian ini dinamakan penelitian tindakan kelas.
Jika
ada upaya-upaya penelitian untuk mengeksplorasi masalah-masalah pembelajaran,
akan tetapi tidak ada tindakan-tindakan tertentu yang dirancang atau direncanakan
untuk perbaikan pembelajaran tersebut, maka penelitian ini hanya dapat
dinamakan penelitian kelas. Tindakan-tindakan inilah yang diimplementasikan dan
selanjutnya dievaluasi untuk mengetahui apakah tindakan-tindakan yang telah diimplementasikan
tersebut dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi guru dalam proses
pembelajaran di kelasnya.
4.
Adanya refleksi diri
Munculnya
kesadaran pada diri guru terhadap praktek pembelajaran yang dilakukannya selama
ini di kelas mempunyai masalah yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain,
munculnya kesadaran dan kepedulian guru terhadap perbaikan kualitas pembelajaran
yang diprakarsai dari dalam diri guru sendiri yang dalam penelitian tindakan
disebut tahap refleksi. Kegiatan refleksi merupakan awal dari munculnya masalah
yang perlu dicari jawabannya melalui penelitian tindakan kelas. Berbeda dengan
penelitian biasa yang mengumpulkan data dari lapangan atau objek sebagai responden,
penelitian tindakan kelas mempersyaratkan guru mengumpulkan data dari praktek
pembelajarannya sendiri melalui refleksi diri. Ini berarti guru mencoba mengingat
kembali apa yang dikerjakannya di dalam kelas, apa dampak suatu tindakan yang
dilakukannya bagi siswa, dan kemudian yang terpenting guru mencoba memikirkan
mengapa dampaknya seperti itu. Dari hasil renungan tersebut, guru mencoba
menemukan kelemahan dan kekuatan dari tindakan-tindakan yang dilakukannya,
kemudian mencoba memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan tindakan yang belum
baik.
D.
Perbedaan Penelitian Tindakan Kelas dan Non Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian tindakan dalam konteks perubahan sekolah,
sebagai contoh di Inggris pada tahun 1990-an, dilakukan sebagai upaya
mereformasi kurikulum dengan memperkenalkan sistem pendidikan yang berbeda dari
sistem yang diberlakukan hampir dua puluh tahun terakhir di negara tersebut.
Dalam kaitan ini, beberapa hal yang perlu diketahui dan pahami, antara lain
sebagai berikut.
1. Proses Awal terjadinya Action Research dan Perbedaannya dengan
Research yang “Sebenarnya”
Elliot berpendapat bahwa secara implisit pergerakan reformasi
kurikulum berbasis sekolah (yang terjadi di Inggris) adalah memprovokasi bagi
terjadinya persepsi pembelajaran, pengajaran dan evaluasi, dimana guru harus memprakarsai
adanya kegiatan-kegiatan kolaboratif dan bangkit dari kebiasaan-kebiasaan tradisionalnya.
Berangkat dari pendapat ini, maka dalam prakteknya kurikulum pembelajaran tidak
diambil berdasarkan teori-teori, akan tetapi dari apa yang dihasilkan dan
dilakukan oleh para guru itu sendiri berdasarkan hipotesis yang diambilnya.
Dengan berdasarkan pada data empiris dan pengaruh-pengaruh yang dikumpulkannya,
yang kemudian digunakannya sebagai alat bukti pendukung bagi terbentuknya
“teori baru” dalam konteks kelembagaan (sekolah) yang dapat dipertanggungjawabkan
(accountability). Dan, ilustrasi inilah yang kemudian, oleh kalangan akademisi
dinamakannya sebagai “action research” atau penelitian tindakan, bukannya
sebagai “research” atau “penelitian yang sebenarnya”.
Secara singkat, kegiatan-kegiatan atau proses yang dilakukan guru
tersebut, yang kemudian disebutnya sebagai “penelitian tindakan” bagi upaya
proses mereformasi kurikulum, oleh Elliot diilustrasikan sebagai berikut.
1) Bahwa proses tersebut diprakarsai dengan tindakan guru dalam
merespon “situasi praktis” tertentu yang dihadapinya.
2) Bahwa “situasi” praktis tersebut merupakan aktifitas kurikulum
tradisional yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang dialami
siswa.
3) Rencana inovasi menimbulkan kontroversi di kalangan pegawai,
karena mereka bertahan pada keyakinan lama terhadap praktek-praktek pembelajaran,
pengajaran, dan evaluasi.
4) Kemudian isu-isu “rencana inovasi” tersebut dijelaskan dan
dicarikan solusinya dalam suatu debat terbuka dan bebas di kalangan sekolah (lembaga),
dengan tetap memperhatikan adanya saling pengertian dan toleransi.
5) Rencana perubahan tersebut ditetapkan sebagai “hipotesis
sementara” (provisional hypotheses) yang akan diuji dengan praktek dalam
lingkup kelembagaan (sekolah), yang hasilnya akan dipertanggungjawabkan ke seluruh
pegawai sekolah.
6) Sehingga dengan demikian, maka manajemen pengembangan kebijakan
dan strategi kurikulum berjalan secara “bottom up” (dari bawah),
bukannya “top down” (dari atas).
Apa
sesungguhnya yang dimaksudkan dengan penelitian tindakan (action research),
apa perbedaannya dengan penelitian (research) yang “sebenarnya”? Banyak
lagi pertanyaan seputar penelitian lainnya, karena selama ini mungkin ada yang
beranggapan bahwa antara penelitian tindakan dengan penelitian tidaklah mengandung
banyak perbedaan, dimana keduanya dipersepsikan hampir dapat disamakan
atau nyaris sama.
Namun,
setelah mengkaji dengan seksama pada bagian-bagian selanjutnya, ternyata
memang, didapatkan kejelasan bahwa antara keduanya ada “proses awal” yang
menjadikan “pembeda” antara penelitian tindakan dan penelitian. Dalam penelitian
tindakan proses awalnya ditengarai karena adanya “situasi praktis” dari kondisi
pembelajaran yang membosankan siswa dan memerlukan respon guru untuk menyikapinya.
Sementara penelitian “yang sebenarnya”, menurut Bogdan dan Biklen (1990) adalah
berangkat dari adanya “premis-premis” yang mendahuluinya, dan kemudian dengan
berdasarkan premis-premis tersebut lalu dilakukan perumusan hipotesa untuk
selanjutnya dilakukan kajian-kajian dan kegiatan-kegiatan yang disebutnya
sebagai research atau penelitian. Mereka mendefinisikan action
research (riset aksi/penelitian tindakan) sebagai: “…kegiatan pengumpulan
informasi secara sistematis yang dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan…”.
Sementara itu, Mills (2000: 6) mendefinisikan action research sebagai
bentuk penelitian sistimatis yang dilakukan oleh guru, kepala sekolah, penyuluh
sekolah, atau pihak lain dalam lingkungan belajar-mengajar, untuk mengumpulkan
berbagai informasi seputar operasi sekolah, bagaimana guru mengajar, dan
bagaimana siswa belajar.
Penjelasan
lebih lengkap tentang penelitian tindakan yang dikemukakan oleh McNiff (1995:
1) menyatakan bahwa penelitian tindakan adalah merupakan bentuk penelitian
refleksi-diri (selfreflective inquiry) yang dilakukan dan digunakan
sebagai upaya pengembangan kurikulum berbasis sekolah, pengembangan
profesional, peningkatan kinerja sekolah, dan sebagainya yang melibatkan guru
secara aktif dalam proses penelitiannya. Dengan demikian, nampak kejelasan
bahwa antara penelitian tindakan dengan penelitian “yang sebenarnya”, dari segi
seting tempat dan pelaku penelitiannya menunjukkan adanya perbedaan, dimana
seting penelitian tindakan (action research) dilakukan di dalam kelas
atau sekolah dan harus melibatkan guru sebagai peneliti, sementara dalam
penelitian (research) biasanya bisa saja dilakukan di dalam maupun di
luar kelas/sekolah dan tidak harus melibatkan guru sebagai peneliti.
Untuk
melengkapi pemahaman tentang beberapa hal yang menjadikan/menimbulkan perbedaan
antara penelitian tindakan (action research) dengan penelitian (research),
disajikan dalam tabel berikut ini.
Dalam
hal metode yang digunakan, nampaknya terdapat berbedaan pendapat antara Mills
dan Elliot, dan Bogdan & Biklen. Dimana Mills berpendapat bahwa dalam
penelitian (research) lebih ditekankan pada penggunaan metode
kuantitatif, sementara dalam penelitian tindakan (action research) lebih
ditekankan penggunaan metode kualitatif. Sementara itu Elliot (1998: 67-89),
dan Bogdan & Biklen (1990: 286) berpendapat bahwa baik metode kuantitatif
maupun metode kualitatif, kedua-duanya dapat dipergunakan dalam action
research, tergantung “selera” pelaku/peneliti itu sendiri.
2.
Hal-hal yang mendasari pelaksanaan Action Research
Tujuan
utama dilakukannya penelitian tindakan (action research) menurut Elliott
(1998: 49) adalah bukan untuk meningkatkan pengetahuan guru, akan tetapi untuk
meningkatkan kinerjanya (praktek pembelajaran). Hasil dan kelengkapan pengetahuan
yang diperoleh dalam proses action research, jelas Elliott selanjutnya, adalah
disumbangkan dan dikondisikan untuk mendukung tercapainya tujuan utama
tersebut. Penelitian termasuk di dalamnya adalah action research haruslah
dipandang sebagai sesuatu yang dilakukan oleh guru, akan tetapi bukan untuk
guru (Mills, 2000: 8).
Berangkat
dari konsep tujuan sebagaimana dijelaskan Elliott dan secara implisit juga
dikemukakan oleh Mills sebagaimana tersebut di atas, nampaknya dalam penelitian
tindakan ini lebih dikedepankan tentang “proses” yang harus dipahami oleh
peneliti, bukannya hasil berupa pengetahuan seputar penelitian tindakan itu
sendiri. Kendatipun diakui bahwa pengetahuan tentang penelitian tindakan juga
diperlukan, akan tetapi sebagai sarana penunjang bagi keberhasilan proses dan
pengkondisian pembelajaran yang dilakukan guru. Temuan-temuan praktis yang
diperoleh guru dalam proses pembelajaran dipergunakan untuk pengambilan
keputusan bagi terciptanya perubahan yang diharapkan. Sementara itu, Mills
dalam bukunya ‘Action Research; A Guide for the Teacher Researcher’
(2000: 6), secara lebih lengkap mengemukakan bahwa penelitian tindakan
dilakukan dengan tujuan untuk pencapaian pemahaman (insight),
mengembangkan praktek yang reflektif, mempengaruhi perubahan positif dalam
upaya memperbaiki hasil belajar siswa dan kehidupannya.
Tidak
jauh berbeda dengan beberapa pendapat tersebut, McNiff dalam bukunya ‘Action
Research: Principles and Practice’ (1995: 2) juga menyatakan bahwa penelitian
tindakan adalah merupakan cara mengkarakteristikkan serangkaian kegiatan yang
didesain sedemikian rupa untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang pada
hakikatnya merupakan cara efektif dalam bentuk program refleksi-diri yang
ditujukan untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan.
Dari
pendapat para ahli seputar tujuan dilakukannya penelitian tindakan khususnya di
sekolah (kelas), dapat disimpulkan bahwa pada intinya penelitian tindakan
dilakukan dengan tujuan untuk “menciptakan” atau “mengkondisikan” adanya
perubahan proses pembelajaran yang lebih baik dan lebih berdayaguna (efektif)
daripada kondisi-kondisi yang ada sebelumnya.
Untuk
mencapai terciptanya kondisi seperti yang diharapkan tersebut, maka Elliot
mengemukakan adanya beberapa karakteristik pokok dari penelitian tindakan (action
research) yang diasumsikan sebagai hal-hal yang mendasari pelaksanaannya, seperti:
•
Bahwa kegiatan pembelajaran, penelitian kependidikan, pengembangan kurikulum,
dan evaluasi adalah merupakan faktor-faktor integral dalam proses penelitian
tindakan.
•
Tujuan utama penelitian tindakan adalah untuk meningkatkan kenerja yang praktis,
bukannya memproduksi pengetahuan.
•
Penelitian tindakan merupakan suatu bentuk alternatif untuk menjelaskan refleksi
etis dari suatu program pembelajaran yang direncanakan.
•
Oleh karena itu, maka penelitian tindakan harus menetapkan suatu resolusi atau
jalan keluar atas munculnya permasalahan antara teori-praktik yang dihadapi
guru.
•
Penelitian tindakan mempersatukan proses-proses yang seringkali dianggap “berbeda”,
seperti: pembelajaran, pengembangan kurikulum, evaluasi, penelitian
kependidikan, dan pengembangan profesional.
•
Penelitian tindakan juga harus mengintegrasikan pembelajaran dan pengembangan
guru, pengembangan kurikulum dan evaluasi, penelitian dan refleksi filosofis,
ke dalam satu konsepsi yang merefleksikan kinerja pendidikan.
•
Penelitian tindakan dilakukan tidak untuk memberdayakan guru sebagai “menempatkan
fungsi individualnya terpisah dari yang lainnya”. Dalam hal ini harus diingat
bahwa penelitian tindakan bagi guru adalah sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas pengalaman belajar siswa yang terstruktur dalam kurikulum agar dapat
direfleksikan dalam bentuk pedagogis.
Karena
itu, bagaimanapun, jelas Elliot lebih lanjut, maka dalam penelitian tindakan
haruslah mencakup proses transformasi budaya profesionalisme dalam “diri guru”
yang mendorong terciptanya kolaboratisme pengalaman dan persepsi siswa, orang
tua, dan pekerja terhadap peningkatan kinerja dan tugas-tugasnya.
Mendukung
pemikiran Elliot, McNiff (1995: 3-9) juga mengelaborasikan adanya landasan
filosofis (pemikiran) bagi pelaksanaan action research, diantaranya McNiff
mengemukakan bahwa oleh karena penelitian tindakan diaplikasikan di dalam kelas
sebagai suatu bentuk pendekatan peningkatan pendidikan melalui adanya proses
perubahan, maka guru harus hati-hati dan kritis dalam mempraktekkannya, serta harus
“disiapkan” dengan perubahan itu sendiri. Penelitian tindakan yang dilakukan di
kelas/sekolah haruslah lebih persuasif, relevan dan menemukan hal-hal yang
bermanfaat bagi guru dan koleganya (Mills, 2000: 8).
Berdasarkan
pendapat dan pemikiran para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
melakukan penelitian tindakan, tidak boleh terlepas dari koridor dan konteks
proses peningkatan pembelajaran di sekolah dalam pengertian yang sempit, dan
proses peningkatan pendidikan secara umum dalam pengertian yang luas.
3.
Dilema yang Dihadapi Guru dalam Melakukan Penelitian Tindakan dan Upaya Mengatasinya
Elliot
mengemukakan pengalamannya bahwa ketika melakukan penelitian di sekolahnya,
berbagai “resolusi” yang ditawarkan pada kenyataannya “tidak membantunya” dalam
penelitian tersebut. Hal ini dikarenakan masih kuatnya status quo kebiasaan/budaya
guru. Oleh karenanya ia menggarisbawahi perlunya cara-cara yang dilakukan guru
sebagai peneliti untuk mencari jalan keluar seandainya dirinya selaku peneliti
(inside researcher) harus memainkan perannya sebagai trasnformator terkondisikannya
budaya baru di sekolahnya.
Untuk
menjustifikasi pengalamannya, Elliot menguatkannya dengan alasan yang
dikemukakan oleh Simon (dalam Elliot, 1998: 56) bahwa “…popularitas dari evaluasi
yang dilakukan sendirian di sekolah mengindikasikan terbentuknya anggapan ingin
membedakan pandangan idiologis”. Selanjutnya Simon juga mengemukakan bahwa
manakala akan melakukan sesuatu yang belum terbiasa di sekolah, harus
bersiap-siap menghadapi adanya “pertentangan nilai” (clash of values) seperti
masalah-masalah privacy (hal-hal pribadi), territority (kewenangan),
dan hierarchy (hirarki).
Selanjutnya
Elliot (1991) juga mengidentifikasi beberapa dilema yang sering muncul dalam
proses pelaksanaan penelitian tindakan seperti dalam hal:
1)
Memberdayakan siswa untuk mengkritisi profesionalisme kinerja guru.
2)
Pengumpulan data.
3)
Sharing data dengan teman sejawat, baik yang di dalam maupun di luar
lingkungan
sekolahnya.
4)
Guru sebagai peneliti di sekolah cenderung memilih metode pengumpulan data
kuantitatif melalui kuesioner misalnya untuk maksud-maksud yang seharusnya
dilakukan dengan metode kualitatif seperti melakukan observasi naturalistik dan
wawancara misalnya, karena dalam metode kualitatif melibatkan situasi personal
yang terasa sulit dipisahkan dari posisi dan perannya sebagai peneliti di
sekolah.
5)
Guru sebagai peneliti, cenderung menolak untuk memproduksi studi kasus terhadap
apa yang dilakukannya.
6)
Masalah penentuan waktu penelitian sepenuhnya ditentukan oleh guru selaku
peneliti.
Demikianlah
beberapa dilema besar yang dihadapi guru manakala ia melakukan penelitian
tindakan di sekolahnya sendiri untuk memprakarsai adanya perubahan kurikulum di
sekolah.
Diakui
memang, bahwa untuk mengadakan suatu perubahan atau reformasi, khususnya yang
berkaitan dengan pembelajaran di suatu sekolah (kelas), banyak sekali
faktor-faktor “etis” berkaitan dengan “nilai” (values) yang menimbulkan dilema
bagi para guru sebagai peneliti.
Namun,
sebagai antisipasi terhadap dilema tersebut, Elliot (1991: 67) juga memberikan
beberapa cara, diantaranya ia menyatakan bahwa guru khususnya yang
berpendidikan lebih tinggi sebagai pendidik tentunya dapat berbuat banyak untuk
mendorong dan menegakkan tumbuh-kembangnya “refleksi budaya profesionalisme” di
sekolah. Maka, dengan menekankan pentingnya metodologi refleksi-diri sebagai
cara untuk menstransformasikan budaya profesionalisme di sekolah, niscaya
keberadaan berbagai dilema sebagaimana disebutkan di atas dapat diatasinya
dengan baik.
Demikian
halnya dengan konsep ‘Democratic Case Study’ yang dikemukakan oleh
MacDonald (1974) yang dijadikan alasan oleh Simon (1985), sebagaimana dikutip
oleh Elliot (1991: 67), juga dapat dipraktekkan guru selaku insider dalam
action research sebagai metodologi empiris-kualitatif bagi teratasinya
masalah status quo, privacy, dan territoriality di
sekolah. Dimana dalam mempraktekkan konsep democratic case study tersebut
haruslah mencakup terjaminnya kerahasiaan informasi “pribadi”, dan terbinanya
negosiasi untuk dapat menerima dan mengeluarkan pendapat/informasi dari setiap
individu.
Untuk
mengantisipasi kemungkinan munculnya dilemma implikasi realitas yang dihadapi
peneliti dan obyeknya dalam suatu penelitian yang menghendaki terjadinya proses
perubahan (dalam hal pembelajaran, misalnya), Michael G. Fullan dan Suzanne
dalam bukunya ‘The Meaning of Educational Change’ (1991) mengemukakan
pendapatnya, yaitu dengan memberikan “pesan etis” berupa enam hal yang harus
diperhatikan ketika melakukan observasi penelitian, yaitu:
1)
Kemukakan rencana-rencana perubahan secara jelas;
2)
Fahami kegagalan yang terjadi dari penelitian/perubahan sebelumnya;
3)
Bimbinglah untuk memahami adanya perubahan yang diharapkan secara alami;
4)
Pernyataan dari status quo;
5) Kedalaman perubahan;
dan
6)
Pertanyaan penilaian.
Masih
dalam hal “etika” yang harus dipunyai peneliti untuk menghalau kemungkinan
dilema yang muncul dalam penelitian yang dilakukannya, Jack R. Fraenkel dan
Norman E. Wallen dalam bukunya ‘ How To Design and Evaluate Research
in Education’ (1993) menganjurkan kepada peneliti agar memperhatikan tiga
prinsip etika yang sangat penting yaitu: 1) melindungi partisipan penelitian
dari rasa takut/bahaya; 2) dukungan data yang meyakinkan bagi diperlukannya
penelitian; dan 3) dihindarkan adanya pertanyaan-pertanyaan yang “menipu”.
Mendukung pendapat Fraenkel dan Wallen tersebut, Keith F. Punch dalam bukunya ‘Introduction
to Sosial Research: Quantitative and Qualitative Approaches’ (1998)
menambahkan bahwa jalan terbaik untuk membuat kejelasan penelitian adalah
mendeskripsikan apa yang akan ditelitinya, sambil menjelaskan mengapa
atau bagaimana penelitian itu dilakukan.
4.
Implikasi Penelitian Tindakan terhadap Perubahan Kurikulum dan Kebijakan Pemerintah
Keberadaan
action research, menurut John Elliott, setidak-tidaknya memberikan nilai
tambah bagi upaya perbaikan proses pendidikan secara umum, karena diyakini
bahwa action research memberikan implikasi positif dalam mengembangkan
budaya “profesionalisme” guru khususnya dalam mencari dan mengembangkan
pola-pola pembelajaran yang up to date, berdaya dan berhasil guna, menarik
dan tidak membosankan bagi siswa, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
mutu keberhasilan siswa dalam belajar di sekolah.
Penelitian
tindakan diyakini dapat memberikan implikasi positif terhadap proses
pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa penelitian tindakan (action research)
merupakan:
•
Kegiatan kreatif yang cocok dan sangat mungkin dilakukan guru.
•
Bentuk pendekatan yang dapat mencarikan solusi dari keadaan yang ambiguity (keragu-raguan).
•
Bentuk pendekatan peningkatan idiologis yang dapat dilakukan.
•
Memungkinkan terlaksananya praktek mempengaruhi yang bisa
diterima/diperhitungkan (counter-hegemonic); karena:
1)
Action research menfokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi, mengklarifikasi,
dan mencarikan solusi masalah yang dihadapi guru sehubungan dengan praktek
pengajarannya.
2)
Action research mencakup makna/fungsi dan hasil dari kerja sama (reflective
on means and ends).
3)
Action research merupakan praktek refleksi/spontanitas.
4)
Action research mengintegrasikan teori ke dalam praktek.
5)
Action research melibatkan proses dialog sesama guru.
Whitehead
(1989) sebagaimana dikutip oleh Elliot (1995: 108) bahkan berkeyakinan bahwa
situasi-kondisi penelitian tindakan sebagaimana disebutkan tersebut secara
tidak disadari memberikan implikasi terhadap guru untuk memahami diri (self-understanding),
yaitu ia jadi tahu perkembangan profesional dirinya.
Penelitian
tindakan merupakan stimulus tambahan dalam pengembangan budaya profesionalisme
reflektif dan sangat dimungkinkan sebagai bentuk upaya kreatif untuk
mempengaruhi pengambil kebijakan pendidikan (pemerintah), khususnya sehubungan
dengan bagaimana seharusnya menanggapi budaya profesionalisme guru.
Dari
uraian di atas, dapat dipahami bahwa action research merupakan salah satu
solusi yang kreatif bagi guru untuk meningkatkan kinerjanya dalam proses pembelajaran
siswa yang lebih berhasil guna dan up to date dengan perkembangan dan
perubahan situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungannya.
Proses
pembelajaran yang kreatif pada dasarnya akan sangat tergantung kepada faktor
“kemauan” dan “kepiawaian” guru untuk mengembangkan dirinya melalui berbagai
aktifitas belajar, mencari informasi, mau bekerja sama, meneliti (seperti
melakukan action research), dan berbagai aktifitas “progresif” lainnya
untuk mengembangkan profesionalisme dalam proses pembelajaran siswa-siswanya di
sekolah. Dari kreatifitas-kreatifitas inilah, nantinya akan memunculkan
“kebutuhan” dan, bahkan, “keharusan” adanya perubahan/reformasi dari situasi
lama yang tradisional ke situasi baru yang lebih profesional. Sehingga pada
gilirannya, perubahan-perubahan yang pada awalnya dirasakan dan terjadi hanya
pada tingkat mikro (dalam lingkup sekolah/kelas) tersebut pun berujung pada
diperlukan adanya perubahan kurikulum pada tingkat makro (dalam lingkup wilayah
atau negara). Dengan demikian, maka apa yang dikemukakan Elliott dalam
penjelasan dan pendapatnya tentang implikasi action research terhadap
perubahan kurikulum dan kebijakan pemerintah kita pun merasa bahwa hal yang
semacam itu pun bisa berlaku di negara mana pun, termasuk di Indonesia.
Sependapat
dengan Elliott dan McNiff (1995: 71-72) juga menyatakan bahwa implikasi dari
penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru di kelas atau sekolah; diantaranya
adalah bahwa: (1) berpikir tentang akan adanya perubahan yang terjadi, dan (2)
mempengaruhi kemauan politik (pemerintah). Karena, menurut McNiff, bahwa
penelitian tindakan adalah merupakan kegiatan politis yang dilakukan untuk menuju
suatu perubahan (khususnya dalam bidang pendidikan). Dan untuk melakukan
perubahan itu sendiri bisa dimulai dari orang-orang yang terlibat dan berada
pada tingkat yang menentukan dalam sistem pendidikan itu. Karena konteks pembelajaran
juga memiliki pengaruh besar bagi keberhasilan pendidikan secara umum. Target
akhir dari penelitian tindakan itu sendiri adalah untuk meningkatkan kehidupan
siswa dan guru melalui perubahan kependidikan (Mills, 2000: 123).
Setelah
menyimak dan memahami perbedaan antara penelitian (research) dengan
penelitian tindakan (action research), Anda diajak untuk memahami perbedaan
antara penelitian tindakan kelas (PTK) dan penelitian tindakan bukan penelitian
tindakan kelas (NON PTK). Untuk memperoleh kejelasan mengenai perbedaan antara
kedua penelitian tersebut, dapat dilihat perbandingannya seperti tampak dalam
tabel berikut.
Bertolak
dari perbedaan antara penelitian tindakan kelas (PTK) dan bukan penelitian
tindakan kelas (Non PTK) sebagaimana disajikan dalam tabel di atas, tampaknya
semakin jelas, penelitian tindakan kelas dilaksanakan oleh guru. Pertanyaannya
adalah mengapa harus guru sebagai peneliti, pada hal tugas selain sebagai
pendidik dan pembimbing adalah melaksanakan tugas mengajar.
Sekurang-kurang
ada dua argumentasi yang dapat menjelaskan mengapa guru sebagai peneliti
tindakan kelas yang dikemukakan oleh Hopkins (1993) sebagaimana disadur oleh
Wardani dkk. (2003: 1.10) yaitu:
Pertama,
guru yang baik perlu punya otonomi dalam melakukan penilaian profesional,
sehingga sesungguhnya, ia (guru) tidak perlu diberitahu apa yang harus dia
kerjakan. Ini bukan berarti guru tidak dapat menerima masukan atau saran dari orang
luar. Meskipun masukan dari orang luar itu penting, tetapi gurulah yang menerima
dan menentukan penilaian profesioanal (professional judgement) sesuai dengan
kelas dimana praktik pembelajaran terjadi.
Kedua,
ketidaktepatan paradigma penelitian formal/biasa dengan upaya berbantuan
peningkatan kinerja guru yang diharapkan untuk memperbaiki proses dan praktik
pembelajaran oleh guru di kelasnya. Karena itulah, guru yang paling tahu kemampuan
dan kinerjanya sendiri melalui berpikir reflektif (reflectif thinking). Selain
dua argumentasi yang dikemukan Hopkins tersebut, dapat dikemukakan argumentasi
lain, yaitu: dalam praktik pembelajaran, gurulah yang lebih tahu kondisi nyata
mengenai proses dan hasil pembelajaran bagi murid (peserta didik) di kelasnya.
BAB
III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
1.
Penelitian
tindakan yang dilakukan oleh guru di kelas disebut penelitian tindakan kelas (Classroom
Action Research).
2.
Penelitian
tindakan kelas dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk kajian yang bersifat
reflektif oleh pelaku tindakan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari
tindakan-tindakan guru dalam melaksanakan tugasnya.
3.
Karakteristik
dari penelitian tindakan kelas, yaitu: (1) penelitian tindakan kelas
dilaksanakan oleh guru sendiri; (2) penelitian tindakan kelas berangkat dari permasalahan
nyata di kelas; (3) penelitian tindakan kelas mempersyaratkan adanya tindakan
yang berlanjut untuk memperbaiki proses pembelajaran dan (4) adanya refleksi
diri.
4.
Perbedaan
penelitian tindakan kelas dan non penelitian tindakan kelas:
a.
Proses
awal terjadinya action research dan perbedaannya dengan research yang “sebenarnya”.
b.
Hal-hal yang
mendasari pelaksanaan action research.
c.
Dilema yang
dihadapi guru dalam melakukan penelitian tindakan dan upaya mengatasinya.
d.
Implikasi
penelitian tindakan terhadap perubahan kurikulum dan kebijakan pemerintah.
3.2
Saran
Kami ingin menyampaikan melalui makalah ini agar pembaca makalah
dapat memahami materi Metodologi Penelitian mengenai Hakikat Penelitian Tindakan Kelas ini secara mendalam dan mendapat pengetahuan lebih banyak lagi
tentang Metodologi Penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman,
dkk. 2009. Penelitian Pendidikan SD.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
E.S, Kasihani Kasbolah. 1998. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:
Depdikbud Derjendikti Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar